Senin, 04 April 2011

DILEMA SERTIFIKASI DAN PORTOFOLIO GURU DALAM JABATAN

Oleh: Barik Fidaroin
PENDAHULUAN
Latar belakang munculnya sertifikasi guru
Pasca disahkannya UU No. 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen, profesi guru dan dosen kembali menjadi bahan pertimbangan oleh banyak pihak khususnya bagi mereka yang berkecimpung dalam dunia pendidikan. Mengapa tidak kehadiran undang- undang tersebut manambah wacana baru akan dimantapkannya hak- hak dan kewajiban bagi guru dan dosen. Diantara hak yang paling ditunggu selama ini adalah adanya upaya perbaikan kesejahteraan bagi guru dan dosen, salah satu upaya yang sementara dilaksanakan saat ini dalam rangka implementasi UUGD adalah pelaksanaan sertifikasi guru dalam jabatan sebagaimana telah diatur dalam peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 18 Tahun 2007. Banyak kalangan yang pesimis dengan adanya sertifikasi guru dan dosen ini, khususnya bagi mereka yang sampai saat ini belum memiliki kualifikasi akademik ( S1 atau Diploma empat (D4)) namun tak sedikit yang merasa gembira dan berbahagia terutama bagi mereka yang sudah dinyatakan lulus karena sudah barang tentu setelah dinyatakan lulus, sudah ada jaminan bagi mereka bahwa pemerintah segera akan membayar tunjangan profesi tersebut, sebuah harapan sekaligus tantangan menuju guru profesional.
Berbagai upaya yang telah dilakukan pemerintah dalam meningkatkan mutu pendidikan antara lain menata sarana dan prasarana, mengutak atik kurikulum, meningkatkan kualitas guru melalui peningkatan kualifikasi pendidikan guru, memberikan berbagai diklat atau pelatihan sampai pada meningkatkan tunjangan profesi guru dalam arti meningkatkan kesejahteraan guru dan lain-lain. Dilihat dari sisi kesejahteraan tampak bahwa pemerintah telah melakukan upaya konkrit untuk  memenuhi hak guru, apalagi saat ini sertifikasi guru sudah mulai dilaksanakan dalam rangka pemberian tunjangan profesi sebagaimana diatur dalam Undang- Undang Guru dan Dosen. Untuk mendapatkan hasil yang optimal maka uji sertifikasi guru dilakukan dengan berbagai cara yaitu tes tertulis, tes kinerja, self appraisal dan portopolio.[1] Dalam makalah ini hanya akan membahas tentang portofolio sebagai salah satu  instrumen untuk uji sertifikasi, apakah sudah menjadi instrumen yang tepat atau belum untuk mengukur keprofesionalan seorang guru.

A.    Pengertian sertifikasi
Sertifikasi guru adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru yang telah
memenuhi standar kompetensi guru. Sertifikasi guru bertujuan untuk:
(1) Menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional,
(2) Meningkatkan proses dan mutu hasil pendidikan,
(3) Meningkatkan martabat guru,
(4)Meningkatkan profesionalitas guru,
(5) Meningkatkan kesejahteraan guru.[2]
Guru dalam jabatan adalah guru PNS dan Non PNS yang sudah mengajar pada
satuan pendidik, baik yang diselenggarakan pemerintah, pemerintah daerah,
maupun masyarakat, dan sudah mempunyai perjanjian kerja atau kesepakatan
kerja bersama.[3]
Portofolio adalah bukti fisik (dokumen) yang menggambarkan pengalaman
berkarya/prestasi yang dicapai dalam menjalankan tugas profesi sebagai guru
dalam interval waktu tertentu.[4]
B.     Dilema sertifikasi
Untuk meningkatkan kualitas guru, perlu dilakukan suatu sistem pengujian terhadap kompetensi guru. Sejalan dengan kebijakan otonomi daerah, beberapa daerah telah melakukan uji kompetensi guru, mereka melakukannya terutama untuk mengetahui kemampuan guru di daerahnya, untuk kenaikan pangkat, dan jabatan, serta untuk mengangkat kepala sekolah dan wakil kepala sekolah.[5]
Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara eksplisit mengamanatkan pentingnya peningkatan mutu pendidikan. Pasal 11 ayat 1 UU nomor 20 Tahun 2003 berbunyi, “Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi”.[6] Untuk mewujudkan amanah tersebut maka lahirlah Undang-Undang nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, sebagai sebuah kebijakan demi memperkokoh dan menopang peningkatan mutu pendidikan melalui ketersediaan mutu pendidik dan tenaga kependidikan. Pasal 8 UU nomor 14 tahun 2005 menyebutkan, “Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional”.[7]
Kedua undang-undang di atas lahir dan menyuguhkan suatu sistem pendidikan yang lebih demokratis dan mengimplisitkan adanya political will dari penyelenggara negara untuk mengangkat harkat dan martabat pendidik khususnya para guru agar menjadi profesional. Guru profesional adalah guru yang memiliki kompetensi lengkap sekaligus bisa hidup layak berkecukupan dari pekerjaannya. Guru profesional diupayakan melalui proses yang disebut peningkatan kualifikasi dan sertifikasi. Namun demikian, upaya reformasi dunia pendidikan dan tenaga kependidikan ternyata dilakukan secara cepat dan dikesankan sebagai proses ketergesaan. Misalnya lahirnya Undang-Undang yang mengatur Guru dan Dosen sebagai tenaga pendidikan lebih banyak dilatarbelakangi oleh pertimbangan kebutuhan dan tuntutan mendesak tanpa diimbangi dengan kajian ilmiah secara komprehensif, akibatnya undang-undang ini di dalamnya mengandung beberapa distorsi yang dipandang oleh banyak ahli justru tidak menyelesaikan masalah bahkan memunculkan masalah. Diantaranya adalah ketetapan kualifikasi pendidikan guru harus S1 atau D4 yang dicapai dalam tempo 10 tahun. Hal inilah yang menjadikan Departemen Pendidikan Nasional seperti kelabakan dengan target sebagaimana amanat yang disebut dalam undang-undang di atas. Lebih dirisaukan lagi adalah keharusan sertifikasi yang diperkuat dengan Permendiknas nomor 18 tahun 2007 tentang sertifikasi guru dalam jabatan, yakni sertifikasi melalui portofolio. Hal inilah yang kemudian dipertanyakan banyak pihak tentang efektifitas sertifikasi serta kemungkinan munculnya aneka kecurangan.
Bagaimana menangani pelaksanaan kualifikasi dengan jumlah guru yang amat besar dengan jumlah lebih dari dua juta orang yang harus selesai tahun 2015. Apakah ada jaminan pelaksanaan uji kompetensi guru dapat berjalan efektif dengan jumlah peserta yang demikian besar serta keberagaman kondisi guru itu sendiri yang sangat variatif. Apakah pelaksanaan sertifikasi akan dapat melahirkan guru yang benar-benar bermutu ataukah tetap sama sebagaimana mereka belum tersertifikasi.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dikemukakan bahwa sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru dan dosen. Sedangkan sertifikat pendidik adalah bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga profesional.[8] Berdasarkan pengertian tersebut, sertifikasi guru dapat diartikan sebagai suatu proses pemberian pengakuan bahwa seseorang telah memiliki kompetensi untuk melaksanakan pelayanan pendidikan pada satuan pendidikan tertentu, setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh lembaga sertifikasi. Dengan kata lain sertifikasi guru adalah proses uji kompetensi yang dirancang untuk mengungkapkan penguasaan kompetensi seseorang sebagai landasan pemberian sertifikat pendidik.[9]
Seiring dengan program peningkatan mutu guru, pemerintah telah menetapkan standar kualifikasi dan kompetensi guru. Penetapan standar kualifikasi dilakukan dengan cara membatasi kualifikasi akademik minimal yang harus dimiliki oleh guru yaitu minimal sarjana strata satu, sedangkan standar kompetensi dilakukan dengan cara uji kompetensi terhadap kompetensi yang dimiliki guru melalui uji sertifikasi (Permendiknas No 16 tahun 2007 tentang Standar Kualifikasidan Kompetensi Guru). Ada dua jalur uji kompetensi guru melalui uji sertifikasi. Pertama adalah uji sertifikasi guru dalam jabatan melalui portofolio (Permendiknas No 18 tahun 2007), kedua adalah uji sertifikasi guru dalam jabatan melalui jalur pendidikan (Permendikanas No. 40 tahun 2007).
Ada banyak sorotan dari beberapa pihak terkait dengan uji sertifikasi melalui portofolio. Secara teoritis beberapa ahli memprediksi bahwa mekanisme pelaksanaan uji sertifikasi mmelalui portofolio dapat memunculkan aneka macam distorsi baik menyangkut substansi, manajemen, dan otentitas dokumen portofolio. Oleh karenanya beberapa kemungkinan adanya distorsi tersebut antara lain:
1.      Rumitnya mekanisme pengelolaan sertifikasi yang melibatkan banyak pihak seperti Kementrian Pendidikan Nasional yang di dalamnya terdapat Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi dan PMPTK, Konsorsium, LPMP, Pemerintah Daerah yaitu Dinas Pendidikan, perguruan tinggi penyelenggara, serta guru.
2.      Terbukanya bagi setiap guru untuk melakukan manipulasi dokumen.
3.      Bahwa dokumen portofolio yang dinilai dalam sertifikasi guru belum sepenuhnya menggambarkan kinerja riil di lapangan.
4.      Guru yang tidak disiplin dalam menyimpan bukti-bukti kegiatan merasa dirugikan.
5.      Kepala Sekolah dan atau pengawas sering diragukan obyektivitasnya dalam melakukan penilaian terhadap guru.
6.      Terbukanya peluang terjadinya penyimpangan oleh Pejabat Daerah pada Pemerintah Kabupaten atau Pemerintah Kota dalam penetapan quota dan personil yang akan diajukan dalam uji sertifikasi.[10]
Dari prediksi-prediksi di atas, ternyata terbukti secara empirik di lapangan. Dalam praktek telah terbukti banyaknya kejadian penyimpangan sebagaimana ditemukan oleh Rochmat Wahab (2008) dalam buku yang ditulis Arif Rohman. Menurutnya berdasarkan pertemuan antar pelaksana sertifikasi guru seluruh Indonesia telah ditemukan beberapa masalah terkait dengan sertifikasi guru, diantaranya:
1.      Dijumpainya beberapa pemalsuan dokumen (ijazah, sertifikat, makalah dan sebagainya)
2.      Legalisasi dokumen yang dilakukan oleh diri-sendiri yang bersangkutan.
3.      Banyak dijumpai guru yang menentukan pilihan bidang atau bidang studi untuk guru profesionalnya tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya (kualifikasi akademik).
4.      Pemahaman guru terhadap portofolio yang masih terbatas. Hal ini berdampak terhadap dokumen portofolio yang disusun guru jauh dari yang diharapkan.
5.      Pemberian kesempatan guru yunior untuk sertifikasi terutama guru non-PNS.
6.      Kelayakan calon yang diajukan, terutama dikaitkan dengan kualifikasi akademiknya.
7.      Sistem dokumentasi atau software untuk proses analisis data yang belum mantap.
8.      Keterbatasan staf dan penyediaan dana untuk proses sertifikasi guru di dinas kabupaten/kota dan propinsi dapat berakibat pada keseriusan dalam mengawal program sertifikasi guru di daerah.
9.      Keterbatasan ragam asesor, sehingga menyebabkan ada guru yang tidak dapat dinilai dengan baik.
10.  Program yang diberikan dari Jakarta terlalu complicated sehingga sebagian nilai tidak bisa memenuhi program. Oleh karena itu banyak nilai yang terpaksa di-entry melalui exell.
11.  Dokumen yang tersimpan di dalam gudang penyimpanan sampai tahap IV sudah memenuhi ruangan, sehingga menjadi permasalahan tersendiri ketika menerima dokumen yang akan datang.
12.  Peserta PLPG datang tidak sesuai dengan mapel dikarenakan kesalahan penulisan nomor peserta, sehingga menyulitkan panitia dalam menerima peserta.
13.  Formula SAK (Skor Akhir Kelulusan), bobot penilaian teman sejawat sebesar 30% sehingga tertanam kesan diklat sangat mudah meluluskan.[11]
Aneka masalah yang ditemukan terkait dengan sertifikasi di atas jelas menunjukkan bahwa mekanisme uji sertifikasi melalui portofolio banyak mengalami distorsi, baik dari Pemerintah, LPTK, maupun pihak guru. Portofolio sebagai basis uji sertifikasi memang diyakini dapat lebih efisien, mengingat jumlah guru di Indonesia yang mencapai 2,7 juta dengan persebaran luar biasa diantara pulau besar maupun pulau kecil. Tetapi portofolio tidak menjadi cara yang efektif untuk dapat digunakan sebagai instrumen uji sertifikasi. Dampak positif dari sertifikasi guru pun sampai sekarang juga belum menunjukkan hasil yang berarti. Baik dampak berupa peningkatan kesejahteraan guru maupun dampak peningkatan kerja dimana setelah beberapa guru tersertifikasi namun pada kenyataannya masih banyak diantara mereka yang menampilkan diri dengan cara lama.
Oleh karena itu, kata kunci yang harus dilakukan adalah mekanisme uji sertifikasi perlu direformasi. Pertama, uji sertifikasi tidak melalui portofolio tetapi melalui uji unjuk kerja. Kedua, lembaga uji sertifikasi tidak lagi LPTK sebagai penghasil guru akan tetapi oleh lembaga otonom sehingga tidak dikesankan “jeruk makan jeruk”.[12]
C.    Sertifikasi belum meningkatkan mutu guru
Sertifikasi guru bukan ukuran yang tepat untuk menilai peningkatan mutu guru. Sebab, sertifikasi guru lebih merupakan proses untuk menetapkan guru apakah memenuhi syarat atau tidak sesuai ketentuan yang berlaku. Pasalnya, peningkatan mutu guru pascasertifikasi tidak serta-merta meningkat tajam. Karena itu, program sertifikasi guru yang dilaksanakan pemerintah hingga tahun 2015, baik lewat penilaian portofolio maupun pendidikan dan pelatihan guru, tetap harus diikuti dengan pembinaan pengembangan profesi guru secara berkelanjutan.[13] "Jika pemerintah dan masyarakat belum puas dengan kinerja guru pascasertifikasi, jangan hanya menyalahkan guru. Selama ini, pembinaan dan pelatihan pada guru secara massal ketika ada kebijakan pendidikan yang berubah. Tetapi pembinaan secara sistematis dan komprhensif tidak terjadi," kata Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Sulistiyo pascarapat koordinasi nasional PGRI akhir pekan lalu.di Jakarta, Senin (27/9/2010)[14]
Sulistiyo mengatakan peningkatan mutu guru tidak bisa dilaksanakan dengan pendekatan proyek. Untuk itu, keseriusan penanganan guru harus jadi komitmen pemerintah. Salah satunya lewat direktorat jenderal peningkatan mutu pendidik dan tenaga kependidikan yang sudah ada. "Bukan dibongkar-pasang sesukanya. Potret guru saat ini merupakan hasil dari pembinaan di masa lalu. Kita sudah tidak bisa coba-coba lagi dalam peningkatan mutu guru. Kita mesti sudah punya sistem pembinaan profesionalisme guru yang mantap," jelas Sulistiyo.[15]
Ketua Harian Pengurus Besar PGRI, Unifah Rosyidi mengatakan peningkatan mutu guru pascasertifikasi ada, namun belum signifikan. Namun, kenyataan itu bukan berarti sertifikasi tidak berhasil. Menurut Unifah, profesionalisme guru dapat berjalan jika ada sebuah sistem yang terus-menerus menjaga pembinaan guru berjalan. Selain itu, dalam diri guru itu sendiri harus ada komitmen untuk menjadi guru sejati. Unifah mencontohkan, di Singapura pemerintah mengharuskan guru mendapatkan pelatihan selama 100 jam per tahun. "Para guru terus mendapat pelatihan mendasar untuk membuat mereka kaya dalam mengembangkan metodologi dan bahan ajar untuk mendorong prestasi siswa," [16]
Program sertifikasi guru yang dilakukan oleh pemerintah hingga saat ini dinilai belum berhasil mendorong profesionalisme guru dalam meningkatkan mutu pendidikan.
Demikian dikatakan Sekretaris Dewan Pendidikan Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah (Jateng) Zaenal Faizin di Temanggung, Jumat (5/3/2010). Zaenal menilai, tujuan pemerintah baik, yaitu memerhatikan nasib guru dengan memberikan tunjangan profesi melalui sertifikasi. "Dan seharusnya program ini mendorong profesionalisme guru," katanya. Namun, kata dia, sertifikasi guru ternyata belum memberikan korelasi positif pada peningkatan kualitas pengajaran guru yang telah menerima sertifikasi, Artinya, lanjut Zaenal, program tersebut belum berhasil.[17]
Zaenal menilai, secara yuridis formal pelaksanaan sertifikasi di Temanggung sudah benar. Hanya, masih banyak kelemahan dari berbagai aspek. Secara etika, menurut dia, dengan adanya tambahan penghasilan dari tunjangan sertifikasi, seharusnya sense of responsibility para guru akan naik. Selain itu, katanya, sertifikasi juga harus berpengaruh pada peningkatan mutu pendidikan secara signifikan. Kenyataannya, mutu pendidikan di Temanggung tetap stagnan. Zaenal menyayangkan sikap para guru yang seolah hanya mengejar kesejahteraan semata, sementara mutu pengajaran mereka tidak diperhatikan.
Hasil penelitian Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Jawa Tengah tahun 2009, katanya, menyebutkan tidak ada korelasi positif antara sertifikasi dengan peningkatan mutu pembelajaran.[18]
D.    Pengertian dan fungsi portofolio
Istilah portofolio banyak digunakan pada berbagai bidang, misal bidang keuangan/perbangkan, politik dan pemerintahan, manajemen dan pemasaran, seni, dan bidang pendidikan. Oleh karena itu pengertian portofolio sangat tergantung pada bidang apa istilah portofolio tersebut digunakan. Dalam bidang pendidikan, portofolio diartikan sebagai sekumpulan informasi pribadi yang merupakan catatan dan dokumentasi atas pencapaian prestasi seseorang dalam pendidikannya.[19] Portofolio ini sangat berguna untuk berbagai keperluan seperti akreditasi pengalaman seseorang, pencarian kerja, melanjutkan pendidikan, pengajuan sertifikat kompetensi dan lain-lain.
Dalam konteks sertifikasi guru, portofolio adalah bukti fisik (dokumen) yang menggambarkan pengalaman berkarya/prestasi yang dicapai selama menjalankan tugas profesi sebagai guru dalam interval waktu tertentu. Dokumen ini terkait dengan unsur pengalaman, karya dan prestasi selama guru yang bersangkutan menjalankan peran sebagai agen pembelajaran.[20] Keefektifan pelaksanaan peran sebagai agen pembelajaran tergantung pada tingkat kompetensi guru yang bersangkutan, yang mencakup kompetensi kepribadian, kompetensi pedagogik, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional.
Fungsi portofolio dalam sertifikasi guru dalam jabatan adalah untuk menilai kompetensi guru sebagai agen pembelajaran. Kompetensi pedagogik dinilai antara lain melalui dokumen kualifikasi akademik, pendidikan dan pelatihan, pengalaman mengajar, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran. Kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial dinilai antara lain melalui dokumen penilaian dari atasan dan pengawas. Kompetensi profesional dinilai antara lain melalui dokumen kualifikasi akademik, pendidikan dan pelatihan, pengalaman mengajar, perancanaan dan pelaksanaan pembelajaran, prestasi akademik, dan karya pengembangan profesi.[21]
Secara lebih spesifik dalam kaitan dengan sertifikasi guru, portofolio berfungsi sebagai :
1.      Wahan guru untuk menampilkan dan/atau membuktikan unjuk kerjanya yang meliputi produktivitas, kualitas, dan relevansi melalui karya-karya utama dan pendukung.
2.      Informasi/data dalam memberikan pertimbangan tingkat kelayakan kompetensi seorang guru, bila dibandingkan dengan standar yang telah ditetapkan.
3.      Dasar menentukan kelulusan seorang guru yang mengikuti sertifikasi (layak mendapatkan sertifkat pendidikan atau belum).
4.      Dasar memberikan rekomendasi bagi peserta yang belum lulus untuk menentukan kegiatan lanjutan sebagai representasi kegiatan pembinaan dan pemberdayaan guru.[22]
E.     Penjelasan komponen portofolio
Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Bagi Guru dalam Jabatan disebutkan bahwa komponen portofolio sebagai instrumen uji sertifikasi guru dalam jabatan adalah:
1.      Kualifikasi akademik
2.      Pendidikan dan pelatihan
3.      Pengalaman mengajar
4.      Perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran
5.      Penilaian dari atasan dan pengawas
6.      Prestasi akademik
7.      Karya pengembangan profesi
8.      Keikutsertaan dalam forum ilmiah
9.      Pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial
10.  Penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan.[23]
Berikut ini dijabarkan beberapa penjelasan dari komponen portofolio di atas yaitu;
1.      Kualifikasi akademik
Kualifikasi akademik adalah ijazah pendidikan tinggi yang dimiliki oleh guru pada saat yang bersangkutan mengikuti sertifikasi, baik pendidikan gelar (S1, S2 atau S3) maupun non gelar (D-IV), baik di dalam maupun di luar negeri.[24]
2.      Pendidikan dan pelatihan
Pendidikan dan pelatihan adalah kegiatan yang pernah diikuti oleh guru dalam rangka pengembangan dan/atau peningkatan kompetensi selama melaksanakan tugas sebagai pendidik, baik pada tingkat kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, nasional, maupun internasional. Workshop/lokakarya yang sekurang-kurang dilaksanakan 8 jam dan menghasilkan karya dapat dikategorikan ke dalam komponen ini.[25]
3.      Pengalaman mengajar
Pengalaman mengajar adalah masa kerja sebagai guru pada jenjang, jenis, dan satuan pendidikan formal tertentu.[26]
4.      Perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran
Perencanaan pembelajaran adalah persiapan pembelajaran yang akan dilaksanakan untuk satu topik atau kompetensi tertentu. Perencanaan pembelajaran sekurang-kurangnya memuat perumusan tujuan/kompetensi, pemilihan dan pengorganisasian materi, pemilihan sumber/media pembelajaran, skenario pembelajaran, dan penilaian proses dan hasil belajar. Pelaksanaan pembelajaran adalah kinerja guru dalam melaksanakan pembelajaran di kelas. Kinerja tersebut meliputi tahapan pra pelajaran (pengecekan persiapan kelas dan appersepsi), kegiatan inti (penguasaan materi, strategi pembelajaran, pemanfaatan media/sumber belajar, evaluasi, penggunaan bahasa), dan penutup (refleksi, rangkuman, dan tindak lanjut).[27]
5.      Penilaian dari atasan dan pengawas
Penilaian ini adalah penilaian atasan terhadap kompetensi kepribadian dan sosial. Aspek yang dinilai meliputi ketaatan menjalankan agama, tanggung jawab, kejujuran, kedisiplinan, keteladanan, etos kerja, inovasi dan kreatifitas, kemampuan menerima kritik dan saran, kemampuan berkomunikasi, dan kemampuan bekerja sama.[28]
6.      Prestasi akademik
Yaitu prestasi yang dicapai guru dalam pelaksanaan tugasnya sebagai agen pembelajaran yang mendapat pengakuan dari lembaga/panitia penyelenggara, baik tingkat kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, nasional, maupun internasional. Komponen ini meliputi lomba dan karya akademik (juara lomba atau penemuan karya monumental dibidang pendidikan atau non pendidikan), sertifikat keahlian/keterampilan tertentu pada guru SMK dan guru olah raga, pembimbingan teman sejawat (instruktur, guru inti, tutor, pamong PPL calon guru), dan pembimbingan siswa kegiatan ekstrakurikuler.[29]
7.      Karya pengembangan profesi
Yaitu hasil karya dan/atau aktivitas guru yang menunjukkan adanya upaya pengembangan profesi yang meliputi: buku yang dipublikasikan, artikel yang dimuat di media, jurnal/majalah, reviewer buku, penulis soal UN, UASDA, modul cetak lokal, media/alat pembelajaran dalam bidangnya, laporan penelitian di bidang pendidikan, karya teknologi dan karya seni.[30]
8.      Keikutsertaan dalam forum ilmiah
Yaitu partisipasi guru dalam forum ilmiah (seminar, semiloka, simposium, sarasehan, diskusi panel) pada tingkat kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, nasional atau internasional, baik sebagai nara sumber maupun sebagai peserta.[31]
9.      Pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial
Pengurus organisasi di bidang kependidikan antara lain: FKKS, FKKG, MGMP, ISPI, HEPI, ABKIN, PGRI dan lain-lain. Pengurus organisasi sosial antara lain: ketua RT, RW, ketua BPD, dan pembina kegiatan keagamaan. Mendapat tugas tambahan antara lain: kepala sekolah, wakil kepala sekolah, kepala urusan, ketua jurusan, wali kelas dan lain-lain.[32]
10.  Penghargaan yang relevan dengan bidang kependidikan
Yaitu penghargaan yang diperoleh guru atas dedikasinya dalam pelaksanaan tugas sebagai agen pembelajaran dan memenuhi kriteria kuantitatif dan kualitatif baik pada tingkat kabupaten/kota, provinsi, nasional maupun internasional, salah satunya adalah: Satyalencana Karya Satya 10 tahun, 20 tahun dan 30 tahun.[33]
F.     Instrumen Portofolio masih dipertanyakan
Fenomena kecurangan dalam pelaksanaan Sertifikasi Guru Dalam-Jabatan lewat portofolio kian menguak apa yang sesungguhnya telah jadi rahasia umum. Terungkapnya kasus plagiasi 1.700 guru di Riau menunjukkan sebagian kecil dari kecurangan dalam memenuhi portofolio sertifikasi guru. Banyak masyarakat yang merisaukan aneka pelanggaran itu, tetapi program sertifikasi terus saja melaju atas nama pemenuhan amanat peraturan perundang-undangan. Kerisauan juga berkembang di kalangan pimpinan lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK), terutama yang diserahi tugas melaksanakan sertifikasi tersebut.[34]
Dalam lima tahun terakhir (2006-2009), lebih dari 500.000 guru telah diberi sertifikat oleh LPTK yang ditunjuk pemerintah (Kompas, 1/11/2010). Namun, hingga detik ini belum ada kabar menggembirakan adanya peningkatan kinerja guru bersertifikat pendidik itu. Malahan, sertifikasi telah sempurna menyemaikan dan menyuburkan budaya jalan pintas yang amat mencederai sosok profesional guru itu sendiri. Publik hanya tahu guru-guru bersertifikat itu buah karya LPTK. Ketika mereka gagal mewujudkan impian publik akan peningkatan mutu pendidikan di Tanah Air, LPTK-lah yang pertama akan ditagih akuntabilitasnya.[35]
Ini sungguh tagihan yang amat berat bagi LPTK yang terlibat dalam prosesi sertifikasi guru meskipun sesungguhnya sejak awal sejumlah pimpinan LPTK skeptis mengenai sertifikasi massal itu akan membuahkan hasil seperti diidealkan, yakni peningkatan mutu pendidikan. Alih-alih menuai kemaslahatan, kita lebih banyak menuai kemudaratan. Angka Rp 60 triliun bukan angka kecil untuk peningkatan guru (Kompas, 1/11/2010).
Jauh lebih penting daripada soal pelanggaran adalah menyempurnakan perangkat dan sistem sertifikasi sungguh perlu dilakukan. Prosesi uji kompetensi yang dilakukan empat tahun terakhir banyak mengandung kelemahan, terutama instrumen dan teknik pengumpulan data. Instrumen penilaian yang menggunakan ukuran persepsional sangat berpotensi menghasilkan data dan informasi yang keliru.
Demikian pula teknik penilaian yang asal menelurkan angka juga berpotensi menghasilkan data penilaian yang keliru. Instrumen penilaian yang mengandalkan persepsi penilai, seperti pada penilaian kompetensi sosial, kompetensi kepribadian, dan kompetensi profesional yang dipercayakan kepada kepala sekolah dan (pengawas), sangat sulit dipercaya dapat menghasilkan data valid.
Data penilaian terhadap variabel ini menunjukkan nyaris semua kandidat mendapatkan skor sempurna karena kepala sekolah dan pemda juga merupakan pihak yang berkepentingan. Demikian juga instrumen penilaian kompetensi profesional dan kompetensi pedagogis yang mengandalkan penilaian persepsional terhadap RPP dan sertifikat tanda mengikuti diklat dan aneka macam kegiatan lain juga tak cukup menggambarkan pengembangan profesional.
Skor pengukuran dengan instrumen serba persepsional itu sesungguhnya tak mampu membedakan antara guru kompeten dan tidak kompeten. Artinya, kesimpulan atas kelulusan guru juga berpotensi mengandung kesalahan. Kekeliruan semacam ini dikenal dengan istilah GiGo (garbage in garbage out), masuk sampah, keluar juga sampah. Apalagi pola penilaian kompetensi dengan menggunakan portofolio yang menyerupai borang ini telah dinodai aneka kecurangan.
Sesungguhnya, menggunakan portofolio untuk uji kinerja guru dalam rangka sertifikasi adalah hal biasa. Bahkan, portofolio diyakini banyak ahli merupakan cara paling andal untuk mengukur kinerja.
Ada dua hal inti yang dilupakan yang membuat portofolio dimaksud jadi sosok lain yang mencederai portofolio itu sendiri. Pertama, diabaikannya unsur analisis dan refleksi kinerja yang mestinya ditampilkan penyusun. Kedua, tak mengukur kinerja, tetapi hal-hal yang bersifat instrumental-input yang masih diduga memengaruhi kinerja. Sertifikasi guru seharusnya diletakkan dalam bingkai pengembangan profesionalitas pendidik dan bukan sekadar alat pemenuhan tuntutan yuridis formal yang penuh aroma politik praktis. Proses sertifikasi tak boleh terjebak pada justifikasi lulus-tidak lulus saja, tetapi harus menjadi sebuah prosesi yang fungsional-akademis yang memberikan pengalaman belajar bermakna bagi guru di dalam meningkatkan mutu pembelajaran. Proses sertifikasi guru yang demikian ini menempatkan penilaian sebagai bagian terintegrasi dalam proses pengembangan profesi. Portofolio itu merupakan analisis reflektif tentang praktik pembelajaran yang dilakukan guru dan dampaknya pada belajar siswa.
Jadi, karakteristik khas portofolio berbasis kelas adalah analitik-reflektif. Portofolio berupa laporan analisis (semacam evaluasi sumatif) terhadap kerja profesional guru mengenai segala keputusan tindakan pembelajaran yang telah dilakukan selama rentang waktu tertentu dalam menjalankan tugas sebagai pendidik.
Penilaian portofolio dapat menggunakan instrumen berupa rubrik, dengan skala pemeringkatan tertentu. Semangat yang dibawa adalah pemberdayaan guru. Dengan mekanisme penilaian portofolio ini, guru akan mengelola pembelajarannya dengan kerangka pikir pengembangan, dan dengan demikian berdampak pada proses pertumbuhan profesi secara berkelanjutan karena siklus kinerja yang analitik-reflektif akan menjamin pertumbuhan profesional. Portofolio berbasis kelas juga tak bias kota, yang konon banyak menyediakan fasilitas seminar dan pelatihan. Untuk menyusun portofolio yang baik, guru cukup berkutat dengan urusan pemantapan pembelajaran. Dengan format portofolio berbasis kelas, di pelosok mana pun guru menjalankan tugas, mereka bisa membuat portofolio terbaik dan ”mengujikan” kompetensi dirinya untuk mendapatkan sertifikat pendidik.[36]
Kompetensi pendidik merupakan bangun utuh antara domain proses berpikir dan domain tindak pembelajaran. Artinya, perangkat uji kompetensi juga satu kesatuan bangun utuh yang mampu mengukur domain berpikir dan domain tindakan guru. Portofolio harus mampu menjadi media pengukuhan profesi guru secara konsisten (berkelanjutan). Sebagai perangkat penilaian kinerja, portofolio harus mampu mengungkap pengetahuan teoretik dan konsepsi (keyakinan) guru, pikiran, dan keputusan guru yang menggambarkan bangun (domain) proses berpikir guru, serta perwujudannya dalam bentuk tindak pembelajaran. Bangun proses berpikir guru ini sesungguhnya menunjukkan epistemologi dan paradigma belajar dan pembelajaran yang dibangun guru lewat proses resiprokal antara pengalaman berpikir dan bertindak di sepanjang perjalanan karier sebagai agen pembelajaran.[37]






E. Penutup
       Sertifikasi dalam meningkatkan profesionalisme guru dan portofolio sebagai instrumen untuk uji sertifikasi tidak akan dapat menghasilkan guru-guru yang memiliki mutu dan kualitas yang baik selama dalam proses tersebut terdapat kecurangan, ketidakjujuran, dan manipulasi dokumen-dokumen yang dilakukan oleh guru sebagai tanda bukti kompetensinya. Kemudian sertifikasi dan portofolio juga tidak akan dapat mendongkrak mutu guru sehingga mendongkrak mutu pendidikan selama guru memandang bahwa sertifikasi adalah sebagai tujuan bukan sebagai alat untuk mencapai tujuan yakni meningkatkan mutu pendidikan. Karena jika demikia maka guru hanya akan sibuk mangurusi dokumen-dokumen atau sertifikat-sertifikat yang harus dikumpulkan sehingga melupakan tugas utamanya sebagai guru yaitu mengajar dan mendidik para siswanya. Guru tidak lagi fokus pada bagaimana mengajar yang efektif dan efisien sehingga proses pembelajaran dapat membelajarkan siswa tetapi lebih mementingkan pengumpulan sertifikat. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah juga seharusnya membuat sistem uji sertifikasi dengan baik, tertata, dan memiliki kejelasan teknik operasional sehingga sertifikasi benar-benar dapat menciptakan guru-guru yang bermutu. Tidak hanya dalam sertifikatnya saja tetapi juga dalam unjuk kerjanya.

















DAFTAR PUSTAKA

Kemdiknas, Pedoman Penetapan peserta dan Pelaksanaan Sertifikasi Guru dalam Jabatan, Jakarta: Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional 2007

Kemdiknas, Sertifikasi Guru dalam Jabatan Tahun 2008; Buku 3 Pedoman Penyusunan Portofolio, Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, 2008.

Mulyasa,  Menjadi Guru Profesional; Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009.

Mulyasa, Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Bagi Guru dalam Jabatan.

Rohman, Arif, Pendidikan Komparatif, Yogyakarta: Laksbang Grafika, 2010.

Undang-Undang Nomor 20  Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen

Ester Lince Napitupulu, “Sertifikasi bukan menilai mutu guru”, edukasi.kompas.com/read/2010/11/24/1022321/ -  dalam Google.com 10 Februari 2011


[1] Mulyasa, Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008), hal. 203.
[2] Kemdiknas, Pedoman Penetapan peserta dan Pelaksanaan Sertifikasi Guru dalam Jabatan, (Jakarta: Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional
2007), hal. 3
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Mulyasa,  Menjadi Guru Profesional; Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009),  hal. 187
[6] Undang-Undang Nomor 20  Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 11 ayat 1
[7] Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, Pasal 8
[8] Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, Pasal 1
[9] Mulyasa, Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008), hal. 33-34.
[10] Arif Rohman, Pendidikan Komparatif, (Yogyakarta: Laksbang Grafika, 2010), hal. 281.
[11] Ibid., hal. 281-282
[12] Ibid., hal. 282
[13]Ester Lince Napitupulu, “Sertifikasi bukan menilai mutu guru”, edukasi.kompas.com/read/2010/11/24/1022321/ -  dalam Google.com 10 Februari 2011, 4.38 pm
[14] Ibid.
[15] Ibid.
[16] Ibid.
[17] Ester Lince Napitupulu, “Sertifikasi bukan menilai mutu guru”, edukasi.kompas.com/read/2010/11/24/1022321/ -  dalam Google.com 10 Februari 2011, 4.38 pm
[18] Ibid.
[19] Tanpa pengarang, Sertifikasi Guru dalam Jabatan Tahun 2008; Buku 3 Pedoman Penyusunan Portofolio, (Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, 2008), hal. 1
[20] Ibid.
[21] Ibid.
[22] Ibid. Hal. 1-2.
[23] Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Bagi Guru dalam Jabatan, Pasal 2 ayat 3.
[24] Tanpa pengarang, Sertifikasi Guru dalam Jabatan Tahun 2008; Buku 3 Pedoman Penyusunan Portofolio, (Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, 2008), hal. 3
[25] Ibid.
[26] Ibid. hal. 4
[27] Ibid.
[28] Ibid. hal. 5
[29] Ibid. hal. 5-6
[30] Ibid. hal. 6
[31] Ibid.
[32] Ibid. hal. 7
[33] Ibid.
[34] Ester Lince Napitupulu, “Sertifikasi bukan menilai mutu guru”, edukasi.kompas.com/read/2010/11/24/1022321/ -  dalam Google.com 10 Februari 2011, 4.38 pm
[35] Ibid.
[36] Ibid.
[37] Ibid.