Senin, 04 April 2011

FORMAT METODOLOGIS PENELITIAN HADIS MA'ANIL HADIS (Fahm Al-Hadis/Syarah Al-Hadis) DALAM KONTEKSTUAL

Oleh: Barik Fidaroin
PENDAHULUAN
Hadis Nabi merupakan sumber ajaran Islam, di samping al-Qur’an. Dilihat dari periwayatannya, hadis Nabi berbeda dengan al-Qur’an. Untuk al-Qur’an, semua periwayatan ayat-ayatnya berlangsung secara mutawatir, sedang untuk hadis Nabi, sebagian periwayatannya berlangsung secara mutawatir dan sebagian lagi berlangsung secara ahad.[1]
Karenanya, al-Qur’an dilihat dari segi periwayatannya mempunyai kedudukan sebagai qati’ al-wurud, dan sebagaian lagi, bahkan yang terbanyak, berkedudukan sebagai zanni al-wurud.[2] Dengan demikian dilihat dari segi periwayatannya, seluruh ayat al-Qur’an tidak perlu dilakukan penelitian tentang orisinalitasnya, sedang hadis Nabi dalam hal ini yang berkategori ahad diperlukan penelitian. Dengan penelitian itu akan diketahui apakah hadis yang bersangkutan dapat dipertanggungjawabkan periwayatannya berasal dari Nabi ataukah tidak. Menghadapi problematika memahami hadits Nabi, khususnya dikaitkan dengan konteks kekinian, maka sangatlah penting untuk melakukan kritik hadis, khususnya kritik matan dalam artian mengungkap pemahaman, interpretasi, tafsiran yang benar mengenai kandungan matan hadis. Dalam kontek sekarang ini telah muncul para intelektual Muslim maupun non muslim. Di kalangan intelektual muslim muncul nama-nama Shalah al-Din al-Adlabi, Musthafa al-Siba’i, Muhammad ajjaj, Muhammad al-Ghazali, Yusuf Qaradhawi dan lain-lain. Namun adakalanya setelah hadis diteliti sanad dan matannya serta diketahui bahwa hadis yang bersangkutan berstatus maqbul (dapat diterima sebagai dalil) ternyata hadis itu tampak bertentangan dengan hadis lain yang berstatus maqbul juga, atau bertentangan dengan dalil lainnya yang sah. Dalam keadaan seperti itu maka kegiatan penelitian masih perlu diteruskan. Yang diteliti bukanlah status maqbul-nya, melainkan apakah hadis yang diteliti dapat diamalkan ataukah tidak dapt diamalkan.
Munculnya berbagai masalah dalam menentukan orisinalitas dan otentisitas hadis dan juga pemahaman makna hadis itu sendiri dalam konteks kekinian, maka diperlukanlah sebuah metodologi penelitian hadis kontemporer sehingga makna hadis tidak hanya dapat dipahami secara tekstual tetapi secara kontekstual. Dengan demikian makna hadis-hadis Nabi dapat berkembang secara dinamis dan dapat dijadikan sebagai sumber pegangan kedua setelah al-Qur’an hingga akhir zaman.
A.    Antara Syarah, Tafsir dan Ta’wil
Istilah Syarah adalah digunakan untuk hadits, sedangkan istilah tafsir dan ta’wil untuk al-Qur’an. Pertanyaan pertama yang muncul adalah kenapa untuk memahami hadits digunakan istilah syarah, kenapa bukan tafsir atau ta’wil. Kemudian kenapa tidak digunakan istilah yang sama untuk menjelaskan al-Qur’an dan Hadits. Apa sebenarnya perbedaan masing-masing di antara ketiga istilah tersebut.
Secara historis perkembangan pemahaman mengenai al-Qur’an yang kemudian mewujud dalam kitab-kitab tafsir berkembang demikian pesat. Beribu-ribu kitab tafsir dengan berbagai coraknya, sejak abad pertam hijriyah telah bermunculan untuk menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang hanya berkisar enam ribu ayat. Sedang dalam bidang hadis, perkembangan pemikiran yang ada tidak sejalan dengan jumlah hadis Nabi sendiri yang jumlahnya mencapai ratusan ribu dan termuat dalam sekian banyak kitab hadis yang tersusun dalam berbagai model penyusunan.[3]
Munculnya banyak kitab tafsir serta model penafsirannya merupakan indikasi bahwa al-Qur’an itu terbuka untuk berbagai penafsiran dan tafsir merupakan hasil konstruksi akal manusia, disamping menunjukkan tidak adanya kekhawatiran bahwa aktivitas mereka akan mengurangi kemurnian al-Qur’an. Berbeda dengan hadits, kebanyakan ulama mendahulukan sikap reserve untuk menelaah ulang dan mengembangkan pemikiran pemahaman hadits secara bebas, karena khawatir dianggap inkar as-sunnah. Sementara studi kritis terhadap al-Qur’an setingkat apapun tidak pernah mengenal istilah inkar al-Qur’an. Padahal tema pemikiran terhadap hadis sangat mendesak untuk dikembangkan guna lebih mendinamisasikan pemikiran keagamaan secaara luas dan merealisasikan hadis sebagai sumber acuan.
Perbedaan pertama yang mencuat dalam kaitannya dengan upaya menjelaskan makna kandungan al-Qur’an dan Hadis adalah bahwa penafsiran al-Qur’an berpijak dari keyakinan haqq al-yaqin bahwa ayat-ayat yang ada di dalamnya merupakan firman-Nya yang terjamin keotentikannya. Sehingga dalam upaya menjelaskan makna ataupun kandungan al-Qur’an yang mengedepankan adalah interpretasi. Sedangkan untuk mengupas makna kandungan hadis harus mengorek terlebih dahulu otentisitas hadis tersebut. An-Naqd (kritik) harus dilakukan karena dalam sejarahnya hadis memang tidak tertulis sejak masa Nabi tetapi baru terkodifikasi beberapa abad sesudahnya.[4] Dengan demikian memfilter terlebih dahulu hadis-hadis yang akan dikupas maknanya merupakan suatu keharusan dan aktivitas ini tentu saja cukup menguras banyak pikiran. Sehingga pada akhirnya upaya penjelasan terhadap hadis Nabi bukan merupakan kiprah interpretasi.
Harus ditegaskan mengenai perbedaan yang mencolok antara syarah dan tafsir. Dalam pensyarahan menurut Habermas menuntut penerapan preposisi-preposisi teoritis terhadap fakta yang terbentuk secara bebas melalui pengamatan sistematis. Sedangkan dalam penafsiran aktivitas yang ada merupakan pemaduan pengertian teoritis dengan pengalaman-pengalaman, sebagaimana dalam kegiatan ilmiah. Dengan demikian syarah merupakan penerapan secara objektif suatu teori atau hukum dalam fakta. Sedangkan tafsir melibatkan unsur subjektif mufassir sehingga lebih luas cakupannya. [5]
B.     Metode Pemahaman Hadis menurut Muhammad al-Gazali
Menurut Muhammad al-Gazali ada lima kriteria keshahihan hadis, tiga terkait dengan sanad dan dua kriteria terkait dengan matan. Tiga kriteria yang terkait dengan sanad adalah:
1.      Periwayat harus orang yang dhabith.
2.      Periwayat harus orang yang adil.
3.      Kriteria pertama dan kedua harus dimiliki seluruh rawi dalam sanad.[6]
Berbeda dengan mayoritas ulama’ hadis, Muhammad al-Ghazali tidak memasukkan unsur ketersambungan sanad sebagai kriteria kesahihan hadis, bahkan unsur ketiga sebenarnya sudah masuk dalam kriteria kedua dan ketiga. Dalam hal ini Muhammad al-Gazali tidak memberikan argumentasi sehingga sangat sulit untuk ditelusuri apakah ini merupakan salah pemikiran atau karena unsur kesengajaan. Adapun dua kriteria yang terkait dengan matan adalah:
1.      Matan hadis tidak syadz (salah seorang atau beberapa rawinya bertentangan periwayatannya dengan perawi yang lain yang lebih akurat dan lebih dapat dipercaya).
2.      Matan hadis tidak mengandung illah qadihah ( cacat yang diketahui oleh para ali hadis sedemikian sehingga mereka menolaknya)[7]
Dalam hal ini tidak ada kesepakatan di kalangan ulama tentang langkah-langkah dalam studi matan ini apakah terhindar dari syadz kemudian terhindar dari illah atau sebaliknya.
Menurut Muhammad al-Ghazali untuk mempraktikkan kriteria-kriteria tersebut maka perlu kerja sama atau saling sapa antara muhaddits dengan berbagai ahli di bidangnya, termasuk fuqaha, mufassir, ahli usul fiqih, ahli kalam dan lain-lain, mengingat materi hadits ada yang berkenaan dengan akidah, ibadah dan mu’amalah sehingga memerlukan pengetahuan dari berbagai ahli.[8]
Muhammad al-Ghazali tidak memberikan penjelasan langsung langkah-langkah konkrit yang berupa tahapan-tahapan dalam memahami hadis Nabi. Namun dari berbagai pernyataannya dalam buku al-Sunnah al-Nabawiyyah baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadits dapat ditarik kesimpulan tentang tolak ukur yang dipakai Muhammad al-Ghazali dalam kritik matan (otentitas matan dan pemahaman matan). Secara garis besar metode yang digunakan oleh Muhammad al-Ghazali ada 4 macam, yaitu:
1.      Pengujian dengan al-Qur’an
Muhammad al-Ghazali mengecam keras orang-orang yang memahami dan mengamalkan secara tekstual hadis-hados yang shahih sanadnya namun matannya bertentangan dengan al-Qur’an. Pemikiran tersebut dilatarbelakangi adanya keyakinan tentang kedudukan hadis sebagai sumber otoritatif setelah al-Qur’an, tidak semua hadis orisinal, dan tidak semua hadis dipahami secara benar oleh periwayatnya. Al-qur’an menurut Muhammad al-Ghazali adalah sumber pertama dan utama dari pemikiran dan dakwah, sementara hadis adalah sumber kedua. Dalam memahami al-Qur’an kedudukan hadis sangatlah penting.[9]
Pengujian dengan al-Qur’an yang dimaksud adalah setiap hadis harus dipahami dalam kerangka makna-makna yang ditunjukkan oleh al-Qur’an baik secara langsung atau tidak. Ini artinya bisa jadi terkait dengan makna lahiriyah kandungan al-Qur’an atau pesan-pesan semangat dan nilai-nilai yang dikandung oleh ayat-ayat al-Qur’an atau dengan menganalogkan (qiyas) yang didasarkan pada hukum-hukum al-Qur’an.[10]
2.      Pengujian dengan hadis
Pengujian ini memiliki pengertian bahwa matan hadis yang dijadikan dasar argumen tidak bertentangan dengan hadis mutawattir dan hadis lainnya yang lebih shahih. Menurut Muhammad al-Ghazali suatu hukum yang berdasarkan agama tidak boleh diambil hanya dari sebuah hadis yang terpisah dari yang lainnya. Tetapi, setiap hadis harus dikaitkan dengan hadis lainnya. Kemudian hadis-hadis yang tergabung itu dikomparasikan dengan apa yang ditunjukkan oleh al-Qur’an.[11]
3.      Pengujian dengan fakta historis
Sesuatu hal yang tak bisa dipungkiri bahwa hadis muncul dalam historisitas tertentu, oleh karenanya antara hadis dan sejarah memiliki hubungan sinergis yang saling menguatkan satu sama lain. Adanya kecocokan antara hadis dengan fakta sejarah akan menjadikan hadis memiliki sandaran validitas yang kokoh, demikian pula sebaliknya bila terjadi penyimpangan antara hadis dengan sejarah maka salah satu diantara keduanya diragukan kebenarannya.[12]
4.      Pengujian dengan kebenaran ilmiah
Pengujian ini bisa diartikan bahwa setiap kandungan matan hadis tidak boleh bertentangan dengan teori ilmu pengetahuan atau penemuan ilmiah dan juga memenuhi rasa keadilan atau tidak bertentangan dengan hak asasi manusia. Oleh sebab itu adalah tidak masuk akal bila ada hadis Nabi mengabaikan rasa keadilan, dan menurutnya, bagaimana pun shahihnya sanad sebuah hadis, jika muatan informasinya bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan dan prinsip-prinsip hak asasi manusia maka hadis tersebut tidak layak pakai.[13]
C.    Hermeneutik dalam memahami makna hadis
Secara etimologis, hermeneutik berasal dari bahasa yunani hermeneuien yang berarti menafsirkan. Hermeneutik pada akhirnya diartikan sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti. Problematika hermeneutika pada hakikatnya problematika yang berkait dengan bahasa karena untuk berpikir, menulis, berbicara, mengerti, bahkan interpretasi, semua menggunakan bahasa. Pemahaman hanya mungkin dimulai bila bermacam-macam pandangan satu bahasa untuk saling berkomunikasi. Tugas hermeneutik terutama memang untuk memahami teks.[14]
Menurut Gadamer suatu interpretasi akan benar bila interpretasi tersebut mampu menyelam di balik bahasa yang digunakan, dalam arti tidak kaku sebagaimana bahasa aslinya. Pemahaman atau interpretasi meski berhubungan dengan peristiwa sejarah, dialek dan bahasa, namun dapat dilakukan dalam historisitas yang berbeda. Pemahaman memang memasukkan unsur subjektif sehingga tidak pernah sampai pada dataran obyektif. Sebab pemahaman bukanlah mengetahui secara statis di luar kerangka ruang dan waktu tetapi selalu dalam keadaan tertentu pada satu tempat khusus dalam ruang dan waktu tertentu.[15]
Dalam memahami makna hadis yang nota bene merupakan pengejawentahan qaul, fi’il dan taqrir Nabi yang telah termodifikasi dan terkodifikasi dalam kitab-kitab hadis dengan sendirinya pada dasarnya merupakan upaya memahami teks-teks hadis. Dalam memahami teks yang hadir di hadapan kita setidaknya tiga variabel utama yang saling terkait yang harus kita ketahui. Tiga variabel itu adalah: teks, pengarang dan pembaca. Ketiganya dihubungkan oleh alat bantu yaitu bahasa. Tanpa medium bahasa mustahil mushannif atau penghimpun hadis-hadis Nabi dan teks-teks hadisnya mampu bersentuhan dengan dunia pembaca yakni para pengkaji hadis. Hal ini nampak bahwa dalam memahami hadis Nabi sangat ditekankan penggunaan gramatika bahasa. Karena hadis tertuang dalam bahasa arab maka cara yang paling dekat mengenal hadis adalah dengan merujuk pada karakter bahasa arab itu sendiri.[16]
Namun sebenarnya dalam kajian hermeneutika bukan hanya gramatika bahasa yang ditekankan, pendekatan kontekstual-historis juga harus dikedepankan. Dengan pendekatan ini untuk mengetahui pesan-pesan yang ada dalam teks, harus diketahui latar belakang sosial budaya di mana dan dalam situasi apa sebuah teks itu muncul. Memang harus diakui ada kendala besar untuk memperoleh data historis sebuah wacana yang kemudian terlembagakan ke dalam sebuah teks. Itulah sebabnya interpretasi tidak bisa menghindar dari unsur tebakan, apropiasi, dan rekonstruksi imajinatif mengenai gagasan yang hendak dipahami dan diungkapkan oleh sebuah teks. Terlebih bagi teks keagamaan, termasuk hadis, yang jangkauan validitasnya diyakini bersifat universal, melewati batas ruang dan waktu, sementara peristiwanya sebagai sebuah wacana yang bersifat lokal historis.
Disamping gramatika dan pendekatan kontekstual historis, penafsiran falsafi juga harus turut dipertimbangkan. Penafsiran falsafi  memang cenderung membangun preposisi universal berdasarkan logika. Karena pada logika deduktif begitu kuat, metode ini kurang memperhatikan aspek historisitas teks. Sisi negatif dari pendekatan ini ialah teks cenderung trcabut dari dinamika wacana aslinya yang menyimpan keunikan dan kekayaan nuansa yang membuka sekian banyak penafsiran, serta memungkinkan kita terlibat dalam ruang wacana imajinatif para pelakunya. Sedangkan sisi positifnya adalah kemampuannya membangun abstraksi dan preposisi butir-butir kebenaran yang diangkat dari teks suci untuk dikomunikasikan lebih luas lagi kepada masyarakat dunia tanpa hambatan budaya dan bahasa.[17]
Dalam hermeneutik setidaknya ada tiga aspek yang dipertimbangkan dalam konteks apa suatu teks ditulis, bagaimana komposisi tata bahasa sebuah teks dan dalam bentuk apa pengungkapannya serta bagaimana pandangan hidup yang terkandung dalam keseluruhan teks.[18]
Ada empat upaya dalam proses memahami teks, khususnya teks keagamaan yang dijadikan acuan keimanan dan perilaku keagamaan, yaitu:
1.      Apakah diri kita cukup memiliki persyaratan untuk menangkap gagasan dari luar
2.      Cukupkah data yang kita memiliki berkaitan dengan kualitas pribadi dan intelektual serta kondisi sosio kultural saat teks tersebut dilahirkan.
3.      Rentang waktu yang panjang antara pembaca dan pengarang menimbulkan pertanyaan, bagaimana menghubungkan antara teks dan pengarangnya.
4.      Apa kriteria untuk dapat memahami teks secara tepat dan benar.[19]
Para ulama mutaqaddimin dan muta’akhkhirin memang telah berkiprah dalam menuangkan pemikiran-pemikiran mereka dalam upaya memahami teks-teks hadis Nabi melalui buah pena mereka dalam kitab-kitab syarah, fiqih maupun yang lain. namun karena masih luasnya jangkauan yang belum tersentuh yaitu tidak semua hadis ada syarahnya ditambah pendekatan yang mereka tekankan lebih pada gramatika bahasa dengan berpegangan pada riwayat, seolah mengesankan ketidakfleksibelan Islam karena kekakuan pandangan tersebut bila dipaksakan untuk diterapkan dalam konteks ruang waktu yang berbeda. Oleh karenanya pikiran-pikiran yang telah ada dan berkembang dalam kerangka memahami hadis yang menekankan gramatika bahasa harus ditindak lanjuti agar menghasilkan pemahaman yang tepat dan menyeluruh.
Dengan kajian hermeneutika diharapkan apa yang harus dikaji, baik yang sudah maupun yang belum dikaji dalam kerangka memahami makna hadis, bisa lebih mendalam jangkauannya, karena mencakup gramatika falsafi, sehingga hadis yang muatan ajarannya menduduki posisi kedua setelah al-Qur’an dapat benar-benar menjadi pegangan umat Islam.
D.    Matan dalam hadis Nabi yang harus dipahami secara kontekstual
Dilihat dari bentuk matannya hadis Nabi ada yang berupa jami’ al-kalim (jamaknya: jawami’ al-kalim yakni ungkapan yang singkat, namum padat makna), tamsil (perumpamaan), ungkapan analogi (qiyas), dan lain-lain.[20]
1.      Jawami’ al-Kalim
a.       Kemampuan Nabi Mengemukakan Jawami’ al-Kalim
Nabi bersabda:
“Saya dibangkitkan (oleh Allah) dengan (kemampuan untuk manyatakan) ungkapan-ungkapan yang singkat, namun padat makna.” (HR. Bukhari, Muslim dan lain-lain, dari Abu Hurairah)

Berdasarkan pernyataan Nabi tersebut maka tidaklah mengherankan bila banyak dijumpai matan hadis Nabi yang berbentuk jawami’ al-kalim. Hal itu merupakan salah satu keutamaan yang dimiliki oleh sabda-sabda Nabi. Berikut ini dikemukakan beberapa macam matan hadis yang berbentuk jawami’ al-kalim:
b.      Perang itu siasat
Nabi bersabda:
“Perang itu siasat.” (HR. Bukhari, Muslim, dan lain-lain dari Jabir bin Abdullah)

Pemahaman terhadap petunjuk hadis tersebut sejalan dengan bunyi teksnya, yakni bahwa setiap perang pastilah memakai siasat. Ketentuan yang demikian itu berlaku secara universal sebab tidak terikat oleh tempat dan waktu tertentu. Perang yang dilakukan dengan cara dan alat apa saja pastilah memerlukan siasat. Perang tanpa siasat sama dengan menyatakan takluk kepada lawan tanpa syarat.
c.       Minuman Khamar
Nabi bersabda:
“ Setiap (minuman) yang memabukkan adalah khamar dan setiap (minuman) yang memabukkan adalah haram.” (HR. Bukhari, Muslim, dan lain-lain, dari Ibnu Umar dengan lafal dari riwayat Muslim)

Hadis tersebut secara tekstual memberi petunjuk bahwa keharaman khamar tidak terikat oleh waktu dan tempat. Dalam hubungannya dengan kebijaksanaan dakwah, dispensasi kepada orang-orang tertentu yang dibolehkan untuk sementara waktu meminum khamar memang ada sebagaimana yang dapat dipahami dari proses keharaman khamar dalam al-Qur’an.[21]
2. Tamsil
Nabi bersabda: dunia itu penjaranya orang yang beriman dan surganya orang kafir (HR. Muslim, Tirmidzi, Ibn Majah, Ahmad bin Hambal dari Abu Hurairah)
Teks hadis tersebut dapat dipahami sebagai berbentuk tamsil dan dapat pula dipahami sebagai bukan berbentuk tamsil. Kedua pemahaman itu dapat saling melengkapi. Secara tekstual hadis tersebut menjelaskan bahwa dunia ini adalah penjara bagi orang yang beriman. Karenanya selama hidup di dunia orang yang beriman harus selalu dalam penderitaan. Kebahagiaan hidup barulah dirasakan oleh orang yang beriman tatkala telah berada di surga, yakni di akhirat kelak. Bagi orang yang kafir hidup di dunia ini adalah surga dan di akhirat kelak orang kafir berada dalam neraka.[22]
Ada kalangan ulama yang menyatakan bahwa kualitas matan hadis tersebut lemah bahkan palsu. Alasan yang diajukan ialah bahwa kandungan matan hadis itu bertentangan dengan petunjuk umum agama Islam yang mendorong para pemeluknya untuk bekerja keras untuk kebaikan hidup di dunia, di samping untuk kebaikan hidup di akhirat.[23]
Penilaian yang demikan itu wajar timbul karena pemahaman yang digunakan adalah pemahaman secara tekstual. Padahal, matan hadits tersebut sangat dimungkinkan untuk dipahami secara kontekstual.
Pemahaman yang lebih tepat terhadap petunjuk hadis di atas adalah pemahaman secara kontekstual, yakni bahwa kata penjara dalam hadis itu memberi petunjuk adanya perintah berupa kewajiban dan anjuran, disamping adanya larangan berupa hukum haram dan hukum makruh. Bagi orang yang beriman kegiatan hidup di dunia ini tidak bebas tanpa batas. Ibarat penghuni penjara maka dibatasi hidupnya oleh berbagai perintah dan larangan. Bagi orang kafir dunia adalah surga sebab dalam menempuh hidup dia bebas dari perintah dan larangan tersebut.[24]
Persaudaraan atas dasar iman
Hadis Nabi menyatakan:
“Orang yang beriman terhadap orang yang beriman lainnya ibarat bangunan; bagian yang satu memperkokoh terhadap bagian yang lain.” (HR. Bukhari, Muslim, Turmudzi dari Abu Musa al-Asya’ari)

Hadits Nabi tersebut mengemukakan tamsil bagi orang-orang yang beriman sebagai bangunan. Tamsil tersebut sangat logis dan berlaku tanpa terikat oleh waktu dan tempat sebab setiap bangunan pastilah bagian-bagiannya berfungsi memperkokoh bagian-bagian yang lain. orang-orang yang beriman begitu pula seharusnya, yakni yang satu memperkuat yang lainnya dan tidak berusaha untuk saling menjatuhkan.
Kembali dari Haji seperti bayi
Nabi bersabda:
“Barang siapa melaksanakan ibadah haji karena Allah semata, lalu, (selama melaksanakan ibadah haji itu) dan tidak melakukan pelanggaran seksual dan tidak berbuat fasik, niscaya dia kembali (dalam keadaan bersih dari dosa dan kesalahan) seperti pada hari dia dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, dan lain-lain dari Abu hurairah)

Secara tekstual hadits tersebut mengibaratkan orang yang berhasil menunaikan ibadah haji menurut petunjuk syari’ah sebagai hari yang dia itu baru saja dilahirkan oleh ibunya. Tegasnya dia itu seperti bayi yang baru dilahirkan oleh ibunya. Pemahaman secara kontekstual terhadap petunjuk hadis tersebut ialah bahwa bagi orang yang berhasil menunaikan ibadah haji menurut syari’at, maka dia diampuni segala dosanya dan dimaafkan segala kesalahannya oleh Allah, sehingga dia seperti tatkala baru dilahirkan ibunya.[25]

3. Ungkapan simbolik
Nabi bersabda: Tuhan kita (Allah) Tabarka wa Ta’alaa setiap malam turun ke langit dunia pada saat malam di pertiga akhir; (Allah) berfirman, “Barang siapa yang berdo’a kepada-Ku niscaya Aku kabulkan doanya itu; barang siapa meminta sesuatu kepada-Ku niscaya Aku memberinya dan barang siapa minta ampun kepada-Ku niscaya Aku mengampuninya”.
Ulama yang memahami petunjuk hadis secara tekstual berpendapat bahwa matan hadis tersebut berkualitas lemah bahkan palsu sebab Allah digambarkan sebagai naik turun ke langit dunia. Itu berarti Allah disamakan dengan makhluk. Padahal matan hadis tersebut berkualitas shahih bila dipahami secara kontekstual.
Maksud matan hadis yang menyebutkan bahwa Allah turun ke langit dunia adalah limpahan rahmat-Nya. Malam pertiga akhir dipilih karena saat yang demikian itu adalah saat yang mudah untuk memperoleh suasana khusyuk dalam berdoa dan beribadah shalat. Dalam keadaan yang penuh kekhusyu’an itu maka kehadiran limpahan rahmat Allah mudah diperoleh. Dengan pemahaman tersebut tidaklah berarti bahwa rahmat Allah tidak turun di luar waktu malam pertiga akhir. Nabi menyebut waktu tertentu itu dengan maksud untuk menunjukkan kekhususannya.[26]
Hadis Nabi berbunyi:
“Dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah saw. menyebut al-Masih al-Dajjal di muka orang banyak. Kemudian beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak buta sebelah mata. Ketahuilah sesungguhnya al-Masih al-Dajjal itu buta matanya  sebelah kanan, sedangkan matanya seperti buah anggur yang timbul.” (HR. Bukhari, Muslim, dan lain-lain)

Pernyataan bahwa Allah tidak buta sebelah mata adalah ungkapan simbolik. Allah Maha Suci dari segala sifat yang menyamakan-Nya dengan makhluk. Ungkapan tersebut dapat diartikan sebagai kekuasaan. Jadi, maksud ungkapan tersebut adalah kekuasaan Allah tidaklah cacat, tetapi Maha Sempurna.
Pernyataan bahwa al-Masih al-Dajjal itu buta matanya sebelah kanan merupakan ungkapan simbolik juga. Yang simbolik dalam hal ini tidak hanya “matanya yang buta sebelah kanan” saja, tetapi juga diri al-Masih al-Dajjal itu sendiri.
Dalam berbagai kitab syarah hadis dijelaskan juga bahwa al-Masih al-Dajjal yang biasa disebut juga dengan al-Dajjal adalah makhluk yang gambaran fisiknya antara lain sebagaimana yang disebutkan oleh berbagai matan hadis Nabi. Pemahaman yang demikian adalah adalah pemahaman yang tekstual.
Dalam kajian ini dinyatakan bahwa al-Dajjal adalah suatu ungkapan simbolik. Karenanya, digunakanlah pemahaman secara kontekstual. Al-Dajjal dalam hal ini adalah ialah keadaan yang penuh ketimpangan; para penguasa pada saat itu bersikap lalim, kaum dhu’afa’ tidak diperhatikan, amanah dikhianati, dan berbagai kemaksiatan lainnya telah melanda di tengah-tengah masyarakat.
E.     Penutup
Dalam memahami makna sebuah hadis di zaman moderen saat ini tidaklah hanya dengan mengetahui artinya saja sehingga hadis hanya dipahami secara tekstual yang menyebabkan kekakuan hadis tersebut ketika diterapkan dalam konteks kekinian. Sehingga seolah-olah hadis tersebut tidak dapat lagi dipakai sebagai pegangan bagi uamt Islam. Memang beberapa hadis ada yang harus dipahami secara tekstual tetapi tidak semua hadis dapat dipahami secara tekstual. Beberapa hadis haruslah dipahami secara kontekstual sehingga dapat mengungkap makna sebenarnya yang terkandung di dalam hadis tersebut. Dengan begitu hadis dapat benar-benar menjadi pegangan kedua bagi umat Islam. Itulah sebabnya dibutuhkan berbagai macam metode dan pendekatan dalam memahami matan sebuah hadis.




DAFTAR PUSTAKA
Hidayat, Komarudin, Mamahami Bahasa Agama, Jakarta: Paramadina, 1996
Ismail, Syuhudi, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, Jakarta: Bulan Bintang, 1994
Ismail, Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Jakarta: Bullan Bintang, 1992.
Muhsin, Amina Wadud, Wanita di dalam Al-Qur’an, terj. Yaziar Raadianti Bandung: Pustaka Salman, 1992
Rahman, Fazlur dkk, Wacana Studi Hadis Kontemporer, Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 2002
Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi, Yogyakarta:Teras, 2008


[1] Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: Bullan Bintang, 1992), hal. 3
[2] Ibid., hal 4
[3] Fazlur Rahman dkk, Wacana Studi Hadis Kontemporer, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 2002), hal. 142
[4] Ibid., hal. 143.
[5]Seperti yang dikutip dalam buku Wacana Studi Hadis Kontemporer, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 2002), hal. 142
[6] Seperti yang dikutip Suryadi dalam buku, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi, (Yogyakarta:Teras, 2008), hal. 78
[7] Ibid.
[8] Ibid., hal. 78-79
[9] Ibid., hal. 82-83
[10] Ibid., hal. 83-84
[11] Ibid., hal. 85
[12] Ibid.
[13] Ibid., hal. 86
[14] Seperti yang dikutip dalam buku Wacana Studi Hadis Kontemporer, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 2002), hal. 145
[15] Ibid., hal. 146
[16] Ibid., hal. 147
[17] Ibid., hal. 148
[18] Amina Wadud Muhsin, Wanita di dalam Al-Qur’an, terj. Yaziar Raadianti (Bandung: Pustaka Salman, 1992), hal. 4.
[19] Komarudin Hidayat, Mamahami Bahasa Agama, (Jakarta: Paramadina, 1996), hal. 153
[20] Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), hal. 9
[21] Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), hal. 10-12
[22] Ibid., hal. 16-17
[23] Ibid., hal. 17
[24] Ibid
[25] Ibid., hal. 14-16
[26] Ibid., hal. 20-21

Tidak ada komentar:

Posting Komentar