Senin, 04 April 2011

PARADIGMA PENDIDIKAN ISLAM DAN PENDIDIKAN ISLAM DALAM MADRASAH

BAB I
Oleh: Barik Fidaroin
PENDAHULUAN
Pemberlakuan undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah mengantarkan pendidikan Islam menjadi salah satu bagian yang penting dalam sistem Pendidikan Nasional. Beberapa lembaga pendidikan agama Islam mempunyai peluang yang cukup besar untuk mengembangkan dan meningkatkan kontribusinya sehingga dapat membantu pemerintah dalam pembangunan pendidikan nasional di Indonesia. Di dalam undang-undang setiap kali disebutkan sekolah misalnya sekolah dasar maka langsung dikaitkan dengan madrasah ibtidaiyah, kemudian sekolah menengah pertama dikaitkan dengan madrasah tsanawiyah, dan sekolah menengah atas dikaitkan dengan madrasah aliyah.
Madrasah adalah salah satu lembaga pendidikan yang di dalamnya terdapat peranan yang besar dalam penyelenggaraan pendidikan Islam. Inilah yang menjadi kelebihan madrasah sebagai lembaga pendidikan jika dibandingkan dengan sekolah karena tidak hanya mengajarkan mata pelajaran umum seperti matematika, fisika, kimia dan lain-lain, tetapi juga mengajarkan mata pelajaran agama yang terbagi dalam al-qur’an, fikih, SKI, aqidah dan akhlak. Madrasah telah memiliki sejarah panjang dan memiliki peran yang sangat penting dalam mencerdaskan masyarakt Indonesia mulai dari penjajahan Belanda hingga era reformasi sekarang ini. Berawal dari pondok pesantren yang didirikan oleh umat Islam kemudian karena perkembangan dan tuntutan zaman serta untuk menyaingi sekolah-sekolah yang didirikan oleh Belanda akhirnya terbentuklah madrasah hingga seperti sekarang ini.
Era globalisasi dan era kemajuan teknologi pada saat ini telah mengubah kebudayaan manusia. Dari kebudayaan manusia tersebut menjadikan tuntutan-tuntutan masyarakat kepada dunia pendidikan khususnya pendidikan Islam juga berubah. Dunia pendidikan Islam dituntut untuk dapat mencetak generasi-generasi yang mampu menguasai teknologi  sehingga tidak ketinggalan zaman tetapi juga mampu menjaga akhlak dan budi pekerti yang luhur sebagai seorang muslim sehingga generasi tersebut mampu menjalankan tujuan hidup sesuai yang difirmankan oleh Allah swt yaitu untuk beribadah. Untuk itulah diharapkan adanya integrasi antara ilmu agama dan ilmu umum dan menghilangkan dikotomi diantara keduanya sehingga tercipta sebuah pemikiran bahwa semua ilmu yang ada di dunia ini adalah ilmu Allah.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian pendidikan Islam
Kata “Islam” dalam “pendidikan Islam” menunjukkan bahwa pendidikan tersebut adalah pendidikan yang berdasarkan pada Islam. tetapi sebelum menjelaskan apa itu pendidikan yang berdasarkan pada Islam kita pahami dahulu apa itu pengertian pendidikan.
Mengungkap makna pendidikan adalah hal yang cukup sulit untuk dituangkan dalam bentuk tulisan karena kerumitan yang ada dalam pendidikan itu sendiri sehingga kata-kata yang digunakan untuk mendefinisikan pendidikan tidak dapat memadai. Jika memang memadai maka harus menuliskan dengan kalimat yang panjang dengan kata-kata yang banyak sehingga makna pendidikan dapat tercakup dari pengertian tersebut. Untuk pengertian pendidikan banyak sekali tokoh-tokoh pendidikan yang mendefinisikannya sehingga memunculkan berbagai macam pengertian yang berbeda menurut pandangan tokoh masing-masing. Ada yang mendefinisikan pendidikan dalam lingkup yang sempit sehingga kurang memadai pengertiannya dan ada yang mendefiniskan pendidikan dalam arti yang luas. Meskipun begitu pemakalah tetap menyajikan beberapa pengertian pendidikan sehingga pembaca dapat menyimpulkan sendiri apa pengertian dari pendidikan. Di mulai dari makna pendidikan menurut Marimba dalam buku yang ditulis oleh Ahmad Tafsir, berpendapat bahwa pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.[1] Definisi ini memang tidak salah tetapi masih terlalu sempit maknanya. Di situ disebutkan pendidikan adalah usaha sadar pendidik dalam mengembangkan kepribadian anak didik, jadi disini hanya terbatas pada anak didik yang dibimbing oleh pendidik berupa orang. Padahal bimbingan bisa dilakukan oleh diri sendiri, lingkungan sekitar, teknologi, kebudayaan dan lain-lain apakah hal ini bukan pendidikan namanya.
 Kemudian Lodge dalam buku yang ditulis Ahmad Tafsir mengatakan pendidikan itu menyangkut seluruh pengalaman. Orang tua mendidik anaknya, anak mendidik orang tuanya, guru mendidik muridnya, murid mendidik gurunya dan lain-lain.[2] Lodge menyebutkan pengertian pendidikan dalam lingkup yang luas yaitu kehidupan sebagai pendidikan dan pendidikan sebagai kehidupan.
Dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa :Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan nuansa dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif, mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara[3]. Dalam undang-undang  tersebut tampak bahwa pendidikan lebih mementingkan keaktifan anak didik dalam pengembangan potensi sehingga anak didik tidak hanya terpaku pada perintah guru yang menyebabkan pembelajaran hanya berjalan pada satu arah. Kemudian dalam undang-undang tersebut juga disebutkan kata usaha sadar dan terencana yang berarti bahwa pendidikan diselenggarakan dengan penuh perencanaan dan persiapan yang matang sehingga pendidikan berjalan secara sistematis dan teratur tidak asal-asalan.
Abdurrahman al-Nawali merumuskan definisi pendidikan dari kata al-tarbiyyah.  Dari segi bahasa, menurut pendapatnya, kata al-tarbiyyah baerasal dari tiga kata yaitu: raba-yarbu yang artinya bertambah, bertumbuh, seperti yang terdapat di dalam Qur’an surat al-Rum ayat 39, kemudian rabiya-yarba yang berarti menjadi besar, dan rabba-yarubbu yang berarti memperbaiki, menguasai urusan, menuntun, menjaga, memelihara. Dari ketiga kata ini kemudian al-Bani menyimpulkan bahwa pendidikan (tarbiyah) terdiri atas empat unsur yaitu: menjaga dan memelihara fitrah anak menjelang dewasa, mengembangkan seluruh potensi, mengarahkan seluruh fitrah dan potensi menuju kesempurnaan (rupanya ia membedakan fitrah dengan potensi), dan dilaksanakan secara bertahap.[4]
Ahmad tafsir dalam bukunya sendiri berpendapat bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan yang diberikan oleh seseorang kepada seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai ajaran Islam atau pendidikan islam ialah bimbingan terhadap seseorang agar ia menjadi muslim semaksimal mungkin.[5] Pada kenyataannya apa yang dikemukakan Ahmad tafsir mengenai pendidikan hanya sebatas pada  bimbingan orang terhadap orang yang dilakukan di dalam keluarga, sekolah dan masyarakat yang di dalamnya menyangkut pembinaan aspek  jasmani, akal dan hati.
Sedangkan Muhaimin dalam bukunya menyatakan bahwa ada dua hal penting yang terkandung dalam pendidikan Islam, yaitu:
1.      Pendidikan  Islam merupakan aktivitas pendidikan yang diselenggarakan atau didirikan dengan hasrat dan niat untuk mengejawentahkan ajaran dan nilai-nilai Islam.
2.      Pendidikan Islam adalah sistem pendidikan yang dikembangkan dari dan disemangati atau dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai Islam.[6]  
Ketika pendidikan Islam dikatakan sebagai sebuah aktivitas maka hal tersebut mengacu pada lembaga pendidikan Islam, masyarakat dan keluarga yang menyelenggarakan pendidikan Islam seperti Raudhatul Atfal, Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, PTAI, Pondok Pesantren, pengajian-pengajian dan pendidikan keluarga itu sendiri. Sedangkan ketika Pendidikan Islam dikatakan sebagai sebuah sistem maka di dalamnya mencakup komponen-komponen pendidikan yang tiap-tiap komponen memiliki nilai-nilai dan semangat Islam yang antara lain: pendidik, tenaga kependidikan, peserta didik, tujuan, materi, sumber belajar, metode, evaluasi, lingkungan, manajemen dan lain-lain.  
B.     Batasan Pengertian Pendidikan Islam
1. Batasan yang luas
Pendidikan Islam dalam arti luas adalah segala pengalaman belajar yang dilalui peserta didik dengan segala lingkungan dan sepanjang hayat.[7]
Pada hakikatnya kehidupan mengandung unsur pendidikan karena adanya interaksi dengan lingkungan, namun yang penting bagaimana peserta didik menyesuaikan diri dan menempatkan diri dengan sebaik-baiknya dalam berinteraksi dengan semua itu dan dengan siapapun. Pendidikan Islam dalam pengertian yang luas ini belum mempunyai sistem. Sebagai pendidik tentu saja memiliki tanggung jawab besar dalam memberikan warna Islami pada lingkungannya. Karakteristik pendidikan Islam dalam arti luas adalah: pendidikan berlangsung sepanjang hayat, lingkungan pendidikan adalah semua yang berada di luar diri pesrta didik, bentuk kegiatan mulai dari yang tidak disengaja sampai kepada yang terprogram, tujuan pendidikan berkaitan dengan setiap pengalaman belajar, dan tidak dibatasi oleh ruang dan waktu.[8]
2. Batasan yang sempit
Pendidikan Islam dalam batasan yang sempit adalah proses pembelajaran yang dilaksanakan di lembaga pendidikan formal (madrasah/sekolah). Dalam batasan sempit ini pendidikan Islam muncul dalam bentuk sistem yang lengkap.[9] Karakteristik pendidikan Islam dalam arti yang sempit adalah: masa pendidikan terbatas, lingkungan pendidikan berlangsung di sekolah/madrasah, bentuk kegiatan sudah terprogram, tujuan pendidikan ditentukan oleh pihak sekolah/madrasah.
3. Batasan yang luas terbatas
Pendidkan dalam arti luas terbatas adalah segala usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga, sekolah, masyarakat dan pemerintah melalui kegiatan bimbingan pengajaran dan latihan yang diselenggarakan di lembaga pendidikan formal (sekolah/madrasah) non-formal (masyarakat) dan in-formal (keluarga) dan dilaksanakan sepanjang hayat, dalam rangka mempersiapkan peserta didik agar berperan dalam berbagai kehidupan.[10] Karakteristik pendidikan Islam dalam arti luas terbatas adalah: masa pendidikan sepanjang hayat namun kegiatan pendidikan terbatas pada waktu tertentu, lingkungan pendidikan juga terbatas, bentuk kegiatan pendidikan berbentuk pendidikan, pengajaran dan latihan, dan tujuan pendidikan merupakan kombinasi antara pengembangan potensi peserta didik dengan social demand
C.    Paradigma Pendidikan Islam dan Implikasi Pengembangannya
Bertolak dari asumsi bahwa pendidikan merupakan persoalan hidup dan kehidupan, dan seluruh proses hidup dan kehidupan manusia adalah proses pendidikan seperti yang telah dikemukakan Lodge, maka pendidikan Islam pada dasarnya hendak mengembangkan pandangan hidup Islami yang diharapkan tercermin dalam sikap hidup dan keterampilan hidup orang Islam.
Apa pandangan dan sikap hidup kita? Hal ini bisa dipahami dari makna hidup itu sendiri yang dalam bahasa arab disebut al-hayah. Makna al-hayah (hidup) adalah al-harakah (bergerak atau gerakan/kegiatan), dan al-harakah adalah al-barkah (bergerak atau beraktivitas yang bisa mendatangkan berkah), dan al-barkah adalah al-ziyadah (nilai tambah dalam hidup), al-ni’mah (kenikmatan atau kenyamanan hidup), dan al-sa’adah (kebahagiaan). Karena itu, pandangan hidup yang dimanifestasikan dalam sikap hidup dan keterampilan hidup seseorang harus bisa mendatangkan berkah, yakni nilai tambah, kenikmatan, dan kebahagiaan dalam hidup.[11]
Namun demikian, timbul pula pertanyaan apa saja aspek-aspek kehidupan itu? Dalam konteks inilah para pemikir dan pengembang pendidikan Islam mempunyai visi yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut tidak bisa dilepaskan dari sistem politik dan latar belakang sosio-kultural yang mengitarinya. Secara historis-sosiologis setidak-tidaknya telah muncul beberapa paradigma pengembangan pendidikan Islam sebagai berikut:
1.      Paradigma Formisme
Di dalam paradigma ini, aspek kehidupan dipandang dengan sangat sederhana, dan kata kuncinya adalah dikotomi. Segala sesuatu hanya dilihat dari dua sisi yang berlawanan, seperti laki-laki dan perempuan, ada dan tidak ada, bulat dan tidak bulat, madrasah dan non madrasah, pendidikan keagamaan dan non keagamaan atau pendidikan agama dan pendidikan umum dan begitu seterusnya.[12]
Pandangan yang dikotomis tersebut pada giliran selanjutnya dikembangkan dalam melihat dan memandang aspek kehidupan dunia dan akhirat, kehidupan jasmani dan rohani sehingga pendidikan Islam hanya diletakkan pada aspek kehidupan akhirat saja atau kehidupan rohani saja. Dengan demikian pendidikan keagamaan dihadapkan dengan pendidikan nonkeagamaan, pendidikan keislaman dengan nonkeislaman, pendidikan agama dengan pendidikan umum. Karena itu, pengembangan pendidikan hanya berkisar pada aspek kehidupan ukhrowiyang terpisah dengan kehidupan duniawi. Pendidikan Islam hanya mengurusi persoalan ritual dan spiritual, sementara kehidupan ekonomi, politik, seni-budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi dan sebagainya dianggap sebagai urusan duniawi yang menjadi garapan bidang pendidikan umum. Pandangan dikotomis inilah yang menimbulkan dualisme dalam sistem pendidikan. Istilah pendidikan agama dan pendidikan umum  atau ilmu agama dan ilmu umum sebenarnya muncul dari paradigma formisme tersebut.
Paradigma formisme mempunyai implikasi terhadap pengembangan pendidikan Islamyang lebih berorientasi pada keakhiratan. Sedangkan masalah dunia dianggap tidak penting, serta menekankan pada pendalaman ilmu-ilmu keagamaan yang merupakan jalan pintas untuk menuju kebahagiaan akhirat, sementara sains dianggap terpisah dari agama. Demikian pula pendekatan yang dipergunakan lebih bersifat pada keagamaan yang normatif, doktriner dan absolutis. Peserta didik diarahkan untuk menjadi perilaku yang loyal, memiliki sikap dan dedikasi yang tinggi terhadap agama yang dipelajari. Sementara itu kajian-kajian keilmuan yang bersifat empiris, rasional, analitis-kritis, dianggap dapat menggoyahkan iman sehingga perlu ditindih oleh pendekatan keagamaan yang normatif dan doktriner tersebut.
2.      Paradigma mekanisme
Paradigma mekanisme memandang kehidupan terdiri atas berbagai aspek, dan pendidikan dipandang sebagai penanaman dan pengembangan seperangkat nilai kehidupan, yang maasing-masing bergerak dan berjalan menurut fungsinya, bagaikan sebuah mesin yang terdiri atas beberapa komponen atau elemen-elemen yang masing-masing menjalankan fungsinya sendiri-sendiri dan antara satu dengan yang lainnya bisa saling berkonsultasi atau tidak.[13]
Jika ditarik pada pendidikan Islam maka paradigma mekanisme ini membuat pendidikan Islam sebagai salah satu pendidikan yang dipelajari oleh siswa disamping mempelajari ilmu-ilmu lain dari pendidikan umum karena pendidikan Islam dan pendidikan umum adalah merupakan bagian dari sebuah komponen yang menjalankan fungsinya masing-masing. Untuk pendidikan agama lebih menonjolkan fungsi moral dan spiritual atau dimensi afektif dari pada kognitif dan psikomotor sehingga berbeda dengan mata pelajaran lainnya. Implikasi dari paradigma ini adalah pengembangan pendidikan Islam bergantung pada kemauan, kemampuan, dan political-will dari para pembinanya dan sekaligus pimpinan dari lembaga pendidikan tersebut, terutam dalam membangun hubungan kerja sama dengan mata pelajaran lainnya.
3.      Paradigma organisme
Paradigma organisme bertolak dari pandangan bahwa pendidikan Islam adalah kesatuan atau sebagai sistem (yang terdiri atas komponen-komponen yang rumit) yang berusaha mengembangkan pandangan atau semangat hidup Islam, yang dimanifestasikan dalam sikap hidup dan keterampilan hidup yang Islami.[14]
Dalam konteks semacam ini pendidikan Islam berarti pendidikan dalam Islam dan pendidikan di kalangan orang-orang Islam. Pengertian ini menggarisbawahi pentingnya kerangka pemikiran yang dibangun dari doktrin fundamental dan nilai fundamental yang tertuang dan terkandung dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah yang sahih sebagai sumber pokok, kemudian mau menerima kontribusi pemikiran dari para ahli serta mempertimbangkan konteks historisitasnya. Karena itu nilai Ilahi/agama/wahyu didudukkan sebagai sumber konsultasi yang bijak, sementara aspek-aspek kehidupan lainnya didudukkan sebagai nilai-nilai insani yang mempunyai relasi horisontal-lateral atau lateral-sekuensial, tetapi harus berhubungan vertikal-linier dengan nilai agama.
Model paradigma tersebut tampaknya mulai dirintis dan dikembangkan dalam sistem pendidikan Islam di Madrasah yang dideklarasikan sebagai sekolah yang berciri khas agama Islam. Kebijakan pengembangan madrasah berusaha mengakomodasikan tiga kepentingan utama, yaitu: sebagai wahana untuk membina ruh atau praktek hidup keislaman, memperjelas dan memperkokoh keberadaan madrasah sederajat dengan sistem sekolah, sebagai wahana pembinaan warga negara yang cerdas, berpengetahuan, berkepribadian, serta produktif, mampu merespon tuntutan-tuntutan masa depan, dalam arti sanggup melahirkan manusia yang memiliki kesiapan memasuki era globalisasi, industrialisasi maupun era informasi.[15]
D. Strategi Pembaruan Pendidikan Islam dalam Madrasah
       Secara khusus pendidikan Islam menghadapi berbagai persoalan dan kesenjangan dalam berbagai aspek yang lebih kompleks yaitu: berupa persoalan dikotomi pendidikan, kurikulum, tujuan, sumber daya, serta manajemen pendidikan Islam.[16] Upaya perbaikannya belum dilakukan secara mendasar sehingga terkesan seadanya saja. Usaha pembaruan dan peningkatan pendidikan Islam sering bersifat sepotong-potong atau tidak komperhensif dan menyeluruh serta sebagian sistem dan lembaga pendidikan Islam belum dikelola secara profesional. Usaha pembaruan pendidikan Islam secara mendasar selalu dihambat oleh berbagai masalah mulai dari persoalan dana sampai tenaga ahli. Dengan kenyataan ini maka sebenarnya sistem pendidikan Islam haruslah senantiasa mengorientasi diri untuk menjawab kebutuhan dan tantangan yang muncul dalam masyarakat kita sebagai konsekuensi logis dari prubahan.
Dalam proses perubahan pendidikan paling tidak pendidikan memiliki dua peran yang harus diperhatikan yaitu: pendidikan akan berpengaruh terhadap perubahan masyarakat dan pendidikan harus memberikan sumbangan optimal terhadap proses transformasi menuju terwujudnya masyarakat madani.[17]Proses perubahan sistem pendidikan harus dilakukan secara terencana dengan langkah-langkah yang strategis yaitu mengidentifikasi berbagai problem yang menghambat terlaksananya pendidikan dan merumuskan langkah-langkah pembaruan yang lebih bersifat strategis dan praktis sehingga dapat diimplementasikan di lapangan atau lebih bersifat operasional. Langkah-langkah tersebut harus dilakukan secara terencana, sistematis dan menyentuh semua aspek. Mengantisipasi perubahan yang terjadi mampu merekayasa terbentuknya sumber daya manusia cerdas, yang memiliki kemampuan inovatif dan mampu meningkatkan kualitas  manusia. Berdasarkan pandangan ini maka paling tidak dalam pembahasan ini ada beberapa strategi dan langkah-langkah yang perlu dilakukan sebagai ikhtiar dalam usaha perubahan pendidikan, yaitu:

1.      Reorientasi kerangka dasar filosofis dan teoritis
Suatu proses pembaruan pendidikan hanya terarah dengan baik dan mantap apabila didasarkan pada kerangka dasar filsafat dan teori pendidikan yang mantap. Filsafat pendidikan yang mantap hanya dapat dikembangkan di atas dasar asumsi-asumsi dasar yang kokoh dan jelas tentang manusia yaitu: hakikat kejadiannya, potensi-potensi bawaannya, tujuan hidup dan misinya di dunia ini baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat, hubungan dengan lingkungan dan alam semesta, dan akhirnya hubungannya dengan Maha Pencipta. Teori pendidikan yang mantap hanya dapat dikembangkan atas dasar pertemuan antara pendekatan filosofis dan pendekatan empiris.
Tugas dan fungsi pendidikan adalah mengarahkan dengan sengaja segala potensi yang ada pada manusia seoptimal mungkin sehingga dapat berkembang menjadi manusia muslim yang baik atau insan kamil. Artinya segala potensi manusia yang dibawa dari lahir bukan hanya dapat dikembangkan dalam lingkungan (empirik) semata-mata, tetapi juga dapat dikembangkan secara terarah dengan bantuan orang lain atau pendidik agar mampu memikul amanah dan tanggung jawabnya baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat, sesuai dan sejalan dengan profil manusia muslim yang baik yaitu manusia yang bertakwa kepada Allah sebagai tujuan akhir pendidikan Islam.[18]
Kemudian untuk hakekat wujud manusia achmadi menyatakan bahwa manusia adalah makhluk jasmani-rohani yang paling mulia, manusia adalah makhluk yang suci sejak lahir, manusia adalah makhluk etik religius dan manusia adalah makhluk yang individual dan sosial.[19] Pendidikan menurut pandangan Islam didasarkan pada asumsi bahwa manusia itu dijadikan sebagai khalifah di bumi untuk mengabdi kepada Allah, yang dilengkapi dengan fitrah yaitu potensi bawaaan berupa potensi: potensi keimanan, potensi untuk memikul amanah dan tanggung jawab, potensi kecerdasan, potensi komunikasi dengan bahasa, dan potensi fisik. Dengan fitrah tersebut manusia mampu dan dapat berkembang secara aktif dan interaktif dengan lingkungan atas bantuan pengarahan pendidik secara sengaja, agar menjadi manusia yang mampu mengembangkan potensinya dan melaksanakan tugas hidupnya sebagai khalifah serta untuk mengabdi kepada Sang Pencipta yang merupakan tujuan hidup dan misinya di dunia ini.
2.      Visi dan Misi Pendidikan Islam
Pendidikan Islam pada kenyataannya telah memiliki visi dan misi yang ideal yaitu “rahmatan lil alamin”. Selain itu sebenarnya konsep dasar filosofis pendidikan Islam lebih mendalam dan menyangkut persoalan hidup multidimensional, yaitu pendidikan yang tak terpisahkan dari tugas kekhalifahan manusia atau lebih khusus lagi sebagai penyiapan kader-kader khalifah dalam rangka membangun kehidupan dunia yang makmur, dinamis, harmonis dan lestari. Hal ini berarti bahwa pendidikan Islam sebenarnya mengemban misi melahirkan manusia yang tidak hanya memanfaatkan persediaan alam, tetapi juga manusia yang mau bersyukur kepada yang membuat manusia dana alam, memperlakukan dan memberdayakan manusia sebagai khalifah, memperlakukan alam tidak hanya sebagai objek penderita semata, tetapi juga sebagai komponen integral dari sistem kehidupan. Pendidikan Islam adalah pendidikan yang ideal, sebab visi dan misinya adalah rahmatan lil alamin yaitu untuk membangun kehidupan dunia yang makmur, demokratis, adil, damai, taat hukum, dinamis dan harmonis.
3.      Strategi pendidikan Islam
Pembangunan pendidikan dan pendidikan Islam di Indonesia sekurang-kurangnya menggunakan empat strategi dasar, yaitu: pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan, relevansi pendidikan, peningkatan kualitas pendidikan, efisiensi pendidikan. Secara umum strategi itu dapat dibagi menjadi dua dimensi yakni peningkatan mutu dan pemerataan pendidikan. Pembangunan peningkatan mutu diharapkan dapat meningkatkan efisiensi, efektifitas, dan produktivitas pendidikan. Sedangkan dimensi pemerataan pendidikan diharapkan dapat memberikan kesempatan yang sama dalam memperoleh pendidikan bagi semua usia sekolah.[20]  
Untuk menjamin kesempatan memperoleh pendidikan yang merata disemua kelompok strata dan wilayah tanah air sesuai dengan kebutuhan dan tingkat perkembangannya perlu menyusun strategi dan kebijakan pendidikan Islam, yaitu: menyelenggarakan pendidikan Islam yang relevan dan bermutu sesuai dengan kebutuhan masyarakat madani Indonesia dalam menghadapi tantangan global, menyelenggarakan pendidikan Islam yang dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat sebagai pemilik sumber daya dan dana serta pengguna hasil pendidikan, menyelenggarakan proses pendidikan Islam yang demokratis secara profesional sehingga tidak mengorbankan mutu pendidikan, meningkatkan efisiensi internal dan eksternal pada semua jalur, jenjang, dan jenid pendidikan, memberi peluang yang luas dan meningkatkan kemampuan masyarakat sehingga terjadi diversifikasi program pendidikan sesuai dengan sifat multikultural bangsa Indonesia, secara bertahap mengurangi peran pemerintah menuju ke peran fasilitator dalam implementasi sistem pendidikan Islam, merampingkan birokrasi pendidikan Islam sehingga lebih lentur untuk melakukan penyesuaian terhadap dinamika perkembangan masyarakat dalam lingkungan global.[21]
4.      Reorientasi tujuan pendidikan Islam
Kenyataan saat ini menunjukkan bahwa tujuan pendidikan Islam masih sangat sulit untuk dirumuskan kedalam bentuk-bentuk yang bersifat problematis, strategis, antisipatif dan aplikatif karena tujuan pendidikan Islam masih bersifat abstrak yaitu tujuan pendidikan Islam adalah untuk mencapai tujuan yang hakiki yaitu kebahagiaan akhirat sehingga mengkesampingkan tujuan yang bersifat duniawi. Kerangka dasar seperti itu menyebabkan sulitnya dalam membuat dan merumuskan tujuan pendidikan Islam yang bersifat operasional, misalnya saja salah satu tujuan pendidikan Islam adalah mengembangkan potensi peserta didik sehingga tertanam pada dirinya akhlak yang mulia. Dari tujuan pendidikan yang seperti itu maka akan berdampak pada sulitnya menyusun kurikulum yang dapat menghantarkan peserta didik menuju pribadi yang memiliki akhlak yang mulia dan hal ini juga akan berdampak pada pelaksanaan evaluasi yang sampai saat ini tidak ada instrumen yang mampu mengukur apakah seorang peserta didik memiliki akhlak yang mulia atau tidak. Tetapi jika dilihat lebih jauh lagi pendidikan Islam tidak seperti pendidikan yang ada di Barat yang bersifat sekuler dimana tujuan dari pendidikan Barat adalah kebendaan atau materi, di mana seorang manusia bisa dikatakan bahagia apabila kebutuhan materinya tercukupi.
Salah satunya negara Amerika, tujuan pendidikan mereka adalah menciptakan warga negara yang pragmatis, di negara komunis menciptakan warga negara komunis marxis. Kedua falsafah ini sekalipun nampaknya berbeda tetapi serupa yaitu bahwa kebahagiaan manusia hanya dapat diciptakan dengan memperbaiki keadaan ekonominya.[22] Sedangkan dalam pendidikan Islam seluruh aspek tujuan haruslah berdasarkan nilai-nilai Islam tidak sekuler seperti Barat. Nilai-nilai Islam ini menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari aspek-aspeknya yang dapat memunculkan insan kamil sehingga seorang peserta didik (muslim) dapat menjalankan tugasnya sebagai khalifah di muka bumi sesuai dengan ajaran-ajaran Islam.
Aspek-aspek tujuan pendidikan Islam meliputi empat hal yaitu tujuan jasmaniah, tujuan rohaniah, tujuan akal, dan tujuan sosial.[23]
5.      Reorientasi Kurikulum Pendidikan Islam
Dalam mendesain kurikulum pendidikan Islam harus di orientasikan pada: kemampuan mengetahui cara beragama yang benar dan mempelajari Islam sebagai sebuah pengetahuan sehingga diharapkan dapat terbentuk perilaku manusia muslim yang memiliki komitmen, loyal serta dedikasi terhadap ajaran Islam dan sekaligus sebagai ilmuan, peneliti, pengamat yang kritis untuk pengembangan keilmuan Islam yang memilik kemampuan inovasi serta siap menerima dan menghadapi tantangan perubahan.[24] Strategi pengembangan pendidikan Islam harus didasarkan pada kurikulum yang secara integral memiliki cakupan disiplin ilmu dan keterampilan yang dapat membentuk kompetensi-kompetensi tertentu dalam suatu sistem yang utuh walaupun komponennya secara transparan berbentuk berbagai macam disiplin ilmu dan teknologi. Strategi pengembangan kurikulum juga didasarkan pada kebutuhan masyarakat masa kini dan masa yang akan datang, bahkan tidak berhenti sampai di situ artinya kesesuaian program kurikulum pendidikan Islam harus diorientasikan pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedang dan akan terjadi.
6.      Reorientasi metodologi Pendidikan Islam
Mastuhu mengusulkan konsep pemikiran metodologi pendidikan Islam yang sifatnya lebih teknis, sebagai berikutu:
a.       Bagi studi pendidikan Islam tidak ada pemisahan istilah pendidikan dan pengajaran karena keduanya merupakan satu keasatuan yang integral.
b.      Dalam melaksanakan metodologi pendidikan dan pengajaran Islam harus dipergunakan paradigma holistik yaitu memandang kehidupan sebagai satu kesatuan, sesuatu yang konkrit dan dekat dengan kepentingan hidup sehari-hari sampai dengan hal-hal abstrak dan transendental.
c.       Perlu dipergunakan model penjelasan yang rasional, disamping pelatihan, dan keharusan melaksanakan ketentuan-ketentuan doktrin spiritual dan norma peribadatan.
d.      Perlu digunakan teknik-teknik pembelajaran partisipatori yaitu peserta didik aktif melakukan eksplorasi, menemukan permasalahan, dan bertanggung jawab atas pemecahan masalah dengan ikut serta merasakan dan mengamalkannya.
e.       Perlu digunakan pendekatan empirik untuk melengkapi model deduktif
Metodologi pendidikan Islam lebih diorientasikan pada apa yang dikerjakan siswa itu sendiri yang dioelajarinya, bukan apa yang dilakukan oleh gurunya sehingga pemberian pengalaman kepada peserta didik merupakan hal yang penting dalam proses belajar mengajar.[25]

BAB III
KESIMPULAN

Pendidikan Islam di Indonesia tidak akan dapat berkembang dan tidak akan dapat memberikan solusi atas permasalahan-permasalahan dari kemajuan zaman dan perkembangan budaya masyarakat jika pendidikan Islam masih mendikotomikan antara ilmu Islam dan ilmu umum atau ilmu akhirat dan ilmu dunia. Haruslah ada integrasi antara keduanya sehingga pendidikan Islam mampu menghantarkan manusia ke dalam kebahagiaan dan kesejahteraan baik di dunia maupun di akhirat. Integrasi antara ilmu umum dan ilmu Islam atau lebih luasnya lagi pendidikan umum dan pendidikan Islam, membuat pendidikan Islam tidak lagi disebut pendidikan Islam tetapi pendidikan dalam Islam karena semua ilmu atau pendidikan telah bercampur dengan nilai-nilai Islam sehingga menjadi satu-kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Dengan begitu diharapkan pendidikan Islam mampu mencetak generasi-generasi yang berpribadi muslim dan berakhlak mulia dalam bidangnya masing-masing entah itu ulama, ahli tafsir, ahli fiqih, ilmuan, peneliti, guru dan lain-lain yamg mampu memecahkan problem-problem dalam masyarakat sesuai dengan nilai-nilai Islam. 

DAFTAR PUSTAKA

Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002

Muhaimin dkk, Manajemen Pendidikan Aplikasinya dalam Penyusunan Rencana Pengembangan Sekolah/Madrasah, Jakarta: Kencana, 2009.

Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2008.

Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam Membangun Masyarakat Madani Indonesia, Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2003.

Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001.

Undang-Undang No. 20 Tahun 2003, Tentang Sistem pendidikan Nasional dan Penjelasannya,  Yogyakarta : Media Wacana Press, 2003.


[1] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001), hal. 24.
[2] Ibid. hal. 25
[3] Undang-Undang No. 20 Tahun 2003, Tentang Sistem pendidikan Nasional dan Penjelasannya, ( Yogyakarta : Media Wacana Press, 2003 ). Hal. 9
[4] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001), hal. 29
[5] Ibid., hal. 32
[6] Muhaimin dkk, Manajemen Pendidikan Aplikasinya dalam Penyusunan Rencana Pengembangan Sekolah/Madrasah, (Jakarta: Kencana, 2009), hal. 3-4.
[7] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2008), hal. 17.
[8] Ibid., hal. 18
[9] Ibid.
[10] Ibid.
[11] Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002), hal. 39.
[12] Ibid.
[13] Ibid., hal. 43
[14] Ibid., hal. 46.
[15] Ibid.
[16] Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam Membangun Masyarakat Madani Indonesia, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2003), hal. 9
[17] Ibid., hal. 126
[18] Ibid., hal. 128-129.
[19] Ibid., hal. 129-130.
[20] Ibid., hal.146
[21] Ibid.
[22] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2008), hal. 142.
[23] Ibid., hal. 143.
[24] Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam Membangun Masyarakat Madani Indonesia, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2003), hal. 167
[25] Ibid., hal. 195-196

Tidak ada komentar:

Posting Komentar