Senin, 04 April 2011

EPISTEMOLOGI PRAGMATISME JOHN DEWEY DAN RELEVANSINYA BAGI PENDIDIKAN (ISLAM)

Oleh: Barik Fidaroin
BAB I
PENDAHULUAN
Akhir abad XIX atau memasuki abad XX di Amerika berkembang sebuah aliran filsafat yang begitu besar dampaknya bagi perkembangan negara tersebut sehingga mengubah cara pandang rakyat Amerika salah satunya di bidang pendidikan yang disebut pragmatisme. Tokoh pragmatisme pertama adalah Charles Sander Peirce kemudian diikuti oleh William James kemudian terakhir adalah John Dewey.
Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar ialah apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis. Pegangan pragmatisme adalah logika pengamatan. Aliran ini bersedia menerima segala sesuatu, asal saja membawa akibat yang praktis. Pengalaman-pengalaman pribadi diterimanya asal bermanfaat.[1]
Rasionalitas dalam pragmatisme telah direduksi menjadi yang berguna, yang bermanfaat, atau yang berfungsi.[2] Ada dua ide utama dalam pragmatisme, pertama manusia adalah makhluk aktif-kreatif membentuk dunianya, kedua manusia memadukan kebenaran dan value dalam action. Paduan kebenaran dan value dalam action menampilkan teori kebenaran yang praktis, yang fungsional, dan yang berguna praktis.[3] Dalam perkembangannya lebih lanjut pragmatisme berjalan dalam tiga jurusan yang berbeda, artinya: sekalipun semuanya berpangkal pada satu gagasan asal, namun bemuara dalam kesimpulan-kesimpulan yang berbeda.
Makalah ini membahas tentang epistemologi pragmatisme dari John Dewey di mana tokoh yang terakhir dalam aliran pragmatisme ini lebih suka menyebut pragmatisme dengan istilah instrumentalisme yang pemikirannya terpengaruh oleh pendahulunya yaitu Hegel, Darwin dan James. Kemudian membahas juga mengenai instrumentalisme John Dewey relevansinya dengan dunia pendidikan Islam.





BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sekilas tentang pragmatisme
Pragmatisme berasal dari bahasa Yunani: pragma, artinya yang dikerjakan, yang dilakukan, perbuatan, tindakan.[4] Pragmatisme pada dasarnya merupakan gerakan filsafat Amerika yang begitu dominan selama satu abad terakhir dan mencerminkan sifat-sifat kehidupan Amerika. Demikian dekatnya pragmatisme dangan Amerika sehingga Popkin dan Stroll menyatakan bahwa pragmatisme merupakan gerakan yang berasal dari Amerika yang memiliki pengaruh mendalam dalam kehidupan intelektual di Amerika. Bagi kebanyakan rakyat Amerika, pertanyaan-pertanyaan tentang kebenaran, asal dan tujuan, hakekat serta hal-hal metafisis yang menjadi pokok pembahasan dalam filsafat Barat dirasakan amat teoritis. Rakyat Amerika umumya menginginkan hasil yang kongkrit. Sesuatu yang penting harus pula kelihatan dalam kegunaannya. Oleh karena itu, pertanyan what is harus dieliminir dengan what for dalam filsafat praktis.[5]
Membicarakan pragmatisme sebagai sebuah paham dalam filsafat, tentu tidak dapat dilepaskan dari nama-nama seperti Charles S. Pierce, William Jamess dan John Dewey. Meskipun ketiga tokoh tersebut dimasukkan dalam kelompok aliran pragmatisme, namun diantara ketiganya memiliki fokus pembahasan yang berbeda. Charles S. Pierce lebih dekat disebut filosof ilmu, sedangkan William James disebut filosof agama dan John Dewey dikelompokkan pada filosof sosial.[6]
Pragmatisme sebagai suatu interpretasi baru terhadap teori kebenaran oleh Pierce digagas sebagai teori arti. Dalam kaitan dengan ini, dinyatakan: bahwa teori pragmatis tentang kebenaran atau suatu proposisi dapat disebut benar sepanjang proposisi itu berlaku (works) atau memuaskan (satisfies), berlaku dan memuaskannya itu diuraikan dengan berbagai ragam oleh para pengamat teori tersebut).
Untuk membedakan dengan dua pendahulunya tersebut, Dewey menamakan pragmatisme sebagai instrumentalisme. Instrumentalisme sebenarnya sebutan lain dari filsafat pragmatisme, selain eksperimentalisme. Pierce memaksudkan pragmatisme untuk membuat pikiran biasa menjadi ilmiah, tetapi James memandangnya sebagai sebuah filsafat yang dapat memecahkan masalah-masalah metafisik dan agama. Bahkan lebih jauh, James menganggapnya sebagai theory of meaning dan theory of truth. Demikianlah, Dewey memberikan istilah pragmatisme dengan instrumentalism, operationalism, functionalism, dan experimentalism. Disebut demikian karena menurut aliran ini bahwa ide, gagasan, pikiran, dan inteligent merupakan alat atau instrumen untuk mengatasi kesulitan atau persoalan yang dihadapi manusia.[7]
B.     Konsepsi tentang pengalaman dan alam
John Dewey secara khusus menulis sebuah buku yang membicarakan hubungan antara pengalaman  dan alam, yaitu antara experience and nature. Dalam mengawali pembicaraaan tentang pengalaman, misalnya, ia menggunakan istilah-istilah naturalisme-empiris, empirisme-naturalistis, dan humanisme-naturalistis sebagai nama bagi corak filsafat yang sedang ia gagas. Jika paham empirisme lebih mengedepankan pengalaman dan paham naturalisme lebih mengedepankan yang alami, maka Dewey mencoba memadukan kedua paham itu kedalam perspektif baru.
Bagi Dewey yang terjadi dalam ilmu-ilmu alam adalah kesatupaduan antara pengalaman dan alam. Penyelidikan harus menggunakan metode empiris jika penemuannya ingin terjamin keilmiahannya. Bahkan dapat dikatakan bahwa para penyelidik sejak semula menerima bahwa pengalaman yang terkontrol dalam langkah-langkah tertentu adalah jalan yang membimbing menuju kepada fakta-fakta dan hukum-hukum alam.[8]
Dengan kerangka berfikir seperti inilah Dewey mencoba mengusulkan sebuah perubahan konsepsi yang menyatupadukan antara pengalaman dan alam secara selaras. Pengalaman menampilkan dirinya sendiri sebagai metode tunggal untuk merasuk ke alam dan menyibak rahasianya, sedangkan alam yang secara empiris disibak (dengan menggunakan metode empiris dalam ilmu-ilmu alam) memperdalam, memperkaya, dan mengembangkan pengalaman lebih lanjut. Jadi disini dapat dilihat bahwa dalam sistem filsafat naturalisme-empiris Dewey, pengalaman berlaku sebagai titik tolak, sebagai metode dalam bergumul dengan alam, dan sebagai tujuan untuk menampakkan alam menurut apa adanaya.[9]
Bagi Dewey pengalaman pertama merupakan suatu tindakan kejadian sehingga organisme tidak hanya berdiri terpekur dengan menunggu sesuatu muncul. Ia tidak hanya menunggu secara pasif dan malas sampai sesuatu mengimpresikan diri padanya dari luar. Akan tetapi, sesuai dengan tingkatannya, setiap organisme selalu memberikan sentuhan terhadap lingkungannya. Akibatnya, terjadilah perubahan pada lingkungan itu dan pada gilirannya lingkungan yang telah berubah itu memberikan reaksi balik dengan merangsang kembali organisme. Proses timbal-balik saling memberi sentuhan semacam itu berlangsung terus-menerus menuju pada penyelarasan yang lebih sempurna. Jadi bagi Dewey sebenarnya makhluk hidup memikul atau menderita akibat dari tingkah lakunya sendiri. Hubungan antara tindak, derita, dan laku itulah yang membentuk sesuatu yang disebut pengalaman.[10] Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengalaman merupakan proses timbal-balik dan saling mempengaruhi antara organisme dan lingkungannya untuk mencapai keselarasan yang lebih harmonis. Dengan kata lain pengalaman adalah lingkungan yang merangsang organisme untuk memodifikasi lingkungan tersebut.[11]
C.    Cara memperoleh pengetahuan
Seperti yang dikutip oleh Hadiwijono menurut Dewey, pemikiran kita berpangkal dari pengalaman-pengalaman dan bergerak kembali menuju pengalaman-pengalaman. Gerak itu dibangkitkan segera, kemudian kita dihadapkan dengan suatu keaadaan yang menimbulkan persoalan dalam dunia sekitarnya, dan gerak itu berakhir dalam beberapa perubahan dalam dunia sekitar atau dalam diri kita sendiri. Pengalaman yang langsung bukanlah soal pengetahuan, yang mengandung didalamnya pemisahan antara subyek dan obyek, pemisahan antara pelaku dan sasarannya. Di dalam pengalaman langsung itu keduanya bukan dipisahkan, tetapi dipersatukan. Apa yang dialami tidak dipisahkan dari yang mengalaminya sebagai suatu hal yang penting atau yang berarti. Jikalau terdapat pemisahan di antara subyek dan obyek hal itu bukan pengalaman, melainkan pemikiran kembali atas pengalaman tadi. Pemikiran itulah yang menyusun sasaran pengetahuan.[12]
Pragmatisme pada dasarnya adalah sebuah usaha epistemologis. Pengetahuan, menurut penganut pragmatis, berakar pada pengalaman. Manusia mempunyai akal pikir kejiwaan yang aktif dan menjelajah bukan sekedar akal pikir kejiwaan yang pasif dan reseptif. Sebagai akibatnya manusia tidaklah begitu saja menerima pengetahuan, ia mencipta pengetahuan karena ia berinteraksi dengan lingkungan. Jadi usaha pencarian pengetahuan adalah sebuah transaksi.[13]
Pembicaraan yang paling ekstensif dan jelas tentang metode epistemologis pragmatis untuk mengubah pengalaman menjadi pengetahuan dikemukakan oleh Dewey dalam How We Think pada tahun 1910 M.
Menurut Dewey proses berpikir reflektif kiranya memiliki lima tahapan, yakni:
1.      Manusia selama ia menjalani hidupnya secara aktif menjumpai suatu persoalan atau keadaan mengganggu yang untuk sementara waktu menghambat kemajuannya. Keadaan ini memberikan sebuah momen keraguan, yang pada waktu proses pemikiran muncul, akal-pikir mulai memfokuskan pada persoalan yang ada.
2.      Intelektualisasi dari apa yang mula-mula merupakan sebuah respon emosional terhadap aktivitas yang terhalang. Selama tahapan ini, langkah-langkah diambil oleh seseorang untuk mendiagnosis keadaan dan untuk menguasai hakikat persoalan yang sebenarnya.
3.      Inventarisasi solusi-solusi yang mungkin. Seseorang membiarkan akal pikirnya secara bebas mengusulkan setiap solusi yang mungkin dapat diterima bagi persoalan tadi. Solusi-solusi yang mungkin itu berfungsi sebagai gagasan-gagasan pemandu atau hipotesis-hipotesis.
4.      Upaya penalaran setelah solusi-solusi yang mungkin dari tahap ketiga tadi diperkirakan konsekuensi-konsekuensinya jika dilakukan. Akal-pikir bertindak merenung dalam alur pemikiran yang berjalan dari sebab ke akibat sebagai usaha memperkecil pilihan-pilihan dari berbagai hipotesis yang nantinya akan berhasil untuk mengatasi kesulitan yang ada.
5.      Berkaitan dengan pengujian hipotesis yang paling bisa diterima akal dengan tindakan untuk melihat konskuensi-konskuensi yang diperkirakan nyata akan terjadi. Jika hipotesis atau jawaban yang diajukan berguna ketika diterapkan ke dalam dunia pengalaman, maka ia adalah benar, kebenaran adalah apa yang berguna. Jika sesuatu yang diterapkan berdasarkan hipotesis terbukti salah, maka seseorang tadi harus kembali setidaknya ke tahap keempat dan mencari kebenaran dalam hipotesis pengganti.[14]
Pada titik inilah penting untuk disadari bahwa pengetahuan dari perspektif pragmatis perlu secara hati-hati dibedakan dari kepercayaan. Kebenaran yang mungkin dianggap perlu dipercayai (to believe) adalah suatu persoalan yang bersifat pribadi, namun apa yang ia anggap perlu diketahui ( to know) harus dapat didemonstrasikan kepada pengamat yang qualified dan tak berpihak. Dengan kata lain kepercayaan (keimanan) adalah hal pribadi, sedangkan pengetahuan adalah hal yang senantiasa bersifat publik.[15]
D.    Teori kebenaran pragmatik
Dewey mengembangkan secara konsisten teori kebenaran dengan menggunakan metode pragmatik. Untuk menguji kandungan pragmatis dari ide kita, kita harus bekerja dalam konteks penggunaannya, baik dengan berfikir reflektif maupun lewat pemecahan masalah. Memang mudah merumuskan adanya korespondensi antara idee dengan fakta, tetapi membuat korespondensi dengan makna praktis, menjadi masalah. “Saya ragu” pada Cartesain adalah titik berangkat penelitian. Pada Peirce dan Dewey memang mengakui adanya “situasi yang meragukan” yang membuat keadaan menjadi “uncertain”. Kualitas “uncertain” itulah yang membedakan ilmuan dengan awam. Yang kedua “uncertain” dalam “indeterminate”. Yang pertama “uncertain” dengan struktur, dengan kerangka fikir, sehingga “uncertain” nya bersifat “determinate”.[16]
Seseorang yang tersesat di hutan, bila ia lalu mendapatkan idee, bukan sekedar mendapatkan idee bagaimana memperoleh jalan keluar dari hutan, melainkan terkonstruksikan suatu struktur yang lebih besar dari pada sekedar merespon atas situasi lingkungannya di hutan. Mungkin muncul idee mengembangkan tim SAR, mungkin muncul ide bagaimana membuat keluarganya lebih berbahagia, atau idee lain. Fakta bagi Dewey dapat menjadi acuan untuk membuat penelitian. Fakta yang ditata kemudian distrukturkan lewat berfikir reflektif atau lewat eksperimentasi akan menjadi kebenaran bila telah di uji dengan pembuktian adanya korespondensi fakta dengan idee dan telah diuji dalam praktik.[17]
Dari sudut pandang kalangan pragmatisme, sebuah pernyataan yang dianggap sebagai kebenaran adalah pernyataan yang bisa diungkapkan dalam bahasa “jika...maka...” dan bisa diuji dengan pengalaman empiris yang bersifat publik. Pendapat epistemologis kalangan pragmatis tidak memberi tempat segala sesuatu yang berpa konsep-konsep apriori dan kebenaran-kebenaran absolut. Manusia hidup dalam dunia pengalaman yang berubah dan meluas terus-menerus dan apa yang berguna dan berfungsi di hari ini bisa terbukti sebagai sebuah penjelasan yang tidak mencukupi lagi di esok hari. Oleh karena itu, kebenaran bersifat relatif dan apa yang benar hari ini bisa tidak benar di waktu mendatang atau dalam konteks situasi yang berbeda.[18]
E.     Kesosialan dan kesusilaan dalam pragmatisme
Dasar yang dipakai Dewey untuk menilai norma kesosialan dan kesusilaan dengan teori pragmatisme yaitu suatu perbuatan adalah luhur, jika itu memberikan hasil yang baik dalam pergaulan hidup. Pengalaman dari perbuatannya yang lampau menilai luhur maupun hinanya suatu perbuatan yang ia hadapi. Dewey dalam hubungan individu dengan masyarakat mengutamakan pergaulan hidup dalam masyarakat. Ia berkata bahwa individu hanya mempunyai arti dalam hubungan masyarakat. Di luar masyarakat orang tidak ada artinya.[19]
Dewey tidak menghendaki adanya norma atau kaidah yang tetap dan yang terlebih dulu ditentukan oleh sejarah atau agama, karena ia tidak turut campur tangan pada waktu membuatnya. Kaidah harus timbul dari masyarakat sendiri yang selalu berubah, berganti sesuai dengan keadaan masyarakat yang senantiasa mengalami proses dan pergantian dari suatu zaman ke zaman lain. juga tujuan hidup yang erat hubungannya dengan kaidah itu wajib pula selalu berubah dan berganti menurut masanya. Tidak ada sesuatu yang tetap, kata Dewey. Kaidah harus ditinjau lugas, obyektif, teliti, jujur seperti dalam laboratorium.[20]
F.     Metode Instrumentalisme
Dalam teori inkuirinya dewey mengembangkan filsafatnya sebagai berikut. Situasi disekeliling kita itu sebagai pengalaman pertama merupakan situasi indeterminate maka dengan berfikir reflektif, situasi tersebut menjadi determinate atas refleksi kita.[21] Atau dengan kata lain berpikir adalah bergerak dari suatu keadaan yang meragukan yang pada saat-saat tertentu penuh dengan kegelapan dan berbagai pertentangan menuju ke keadaan yang tetap dan teratur.[22] Oleh karena itu fungsi berfikir reflektif adalah mentransformasikan suatu situasi yang memuat kegelapan, keraguan, pertentangan, dan berbagai kekacauan bagi pengalaman menjadi situasi yang terang, runtut, tetap dan selaras. [23]
Dalam hal ini Dewey menyamakan antara pola berpikir, pola penyelidikan, dan kerangka logika. Dalam Logic: Theory of Inquiry ia mengatakan bahwa penyelidikan adalah transformasi terkontrol dan terarah dari situasi yang tidak menentu menuju ke sesuatu yang demikian pasti dalam pembedaan dan hubungan anasir-anasirnya, sehingga unsur-unsur dari keadaan semula menjadi keseluruhan yang utuh. Dengan demikian berpikir bukanlah tanpa arah, acak dan serbaneka, melainkan bertujuan, khusus dan dibatasi oleh sifat permasalahan yang terpampang. Tujuannya adalah untuk menjelaskan situasi yang kacau dan mengganggu sedemikian rupa, sehingga memungkinkan diusulkan langkah penalaran untuk berurusan dengannya. Oleh karena itu berpikir bagi Dewey berpikir merupakan semacam rancangan untuk merubah keadaan.[24]
Pernyataan-pernyataan Dewey di atas berangkat dari asumsi bahwa manusia dalam tingkat kehidupan alamiahnya tidak akan berpikir jika tidak ada kesulitan yang menghadangnya. Bahkan kesulitan-kesulitan yang dihadapinya itu pun hanya mungkin menimbulkan berpikir jika berpikir itu merupakan langkah yang mendesak dan imperatif, yaitu hanya kalau berpikir itu merupakan jalan mutlak bagi suatu pemecahan. Berpikir hanyalah tindak lanjut dari proses mengalami jika pengalaman itu menyajikan dan tersajikan dalam situasi yang problematis, suatu situasi yang menghambat lancarnya kegiatan manusia, suatu dilema yang menuntut jalan keluar.[25]
Berpikir bertujuan membantu memberikan sentuhan perubahan pada situasi yang problematis, sehingga interaksi antara seseorang dengan lingkungannya kembali seselaras mungkin. Dengan demikian, pengetahuan sebagai hasil berpikir sebetulnya merupakan instrumen, alat, atau perkakas bagi penyelarasan proses kehidupan. Demikian pula bagi Dewey gagasan berguna untuk membangun gagasan lain, hasil penyelidikan berguna sebagai batu pijakan untuk penyelidikan lain, dan sikap inilah yang dijadikan sebagai ukuran kebenaran. Oleh karen itulah, metode yang digunakannya dinamakan instrumentalisme. Akan tetapi metode itu juga dapat disebut experimentalisme karena gagasan dan pengetahuan ditangkap secara coba-coba (trial and error) yang kemudian dikukuhkan melalui percobaan, melalui langkah eksperimental.[26]
G.    Pemikiran John Dewey dalam dunia pendidikan dan relevansinya dengan pendidikan Islam
Dewey menuliskan beberapa karangan yang menguraikan berbagai filsafat pragmatis yang dibuktikan dengan teori-teori pendidikannya. Ia menekankan sistem belajar melalui kegiatan dan pengajaran anak secara mendalam. Filsafat pendidikan Dewey yang paling terkenal adalah anjuran terhadap metode proyek pengetahuan yang dinyatakan oleh pengikut-pengikutnya sebagai suatu kegiatan pemecahan permasalahan yang paling tepat.[27]
Metode yang ideal dalam belajar seperti yang dikemukakan Dewey dalam teorinya tentang hasil aktivitas atau penyelesaian proyek sebagai berikut:
1.      Murid harus benar-benar tertarik pada kegiatan, pengalaman atau pekerjaan yang edukatif.
2.      Ia harus menemukan dan memecahkan kesukaran atau masalah.
3.      Mengumpulkan data-data melalui ingatan, pemikiran dan pengalaman pribadi atau penelitian.
4.      Menentukan cara pemecahan kesukaran atau masalah.
5.      Mencoba cara terbaik untuk memecahkan sesuatu melalui penerapan dalam pengalaman, percobaan atau kehidupan sehari-hari.[28]
Dalam proses belajar, seorang siswa harus memusatkan perhatiannya pada pemecahan suatu masalah pokok, harus berpandangan luas dan menerima semua sumber informasi atau saran yang masuk akal, harus tetap tertarik pada suatu masalah dan mencari cara pemecahannya, bukan tertarik pada keuntungan atau kerugian yang akan diperolehnya dan ia harus mau menerima segala akibat dari kesimpulan atau keputusan yang dibuatnya.
Dalam pembelajaran Dewey memberikan kebebasan pada murid untuk memilih kegiatan yang mereka sukai dan menganjurkan pengajaran secara individu serta partisipasi sosial para murid dalam kegiatan-kegiatan kelompok. Dewey yakin bahwa pendidikan umum yang dikelola dengan baik, akan dapat memperbaiki suatu masyarakat dan dikatakannya pula bahwa sekolah yang baik harus merupakan miniatur masyarakatnya, murid harus menggunakan bangunan, alat-alat, permainan, pengamatan alam, pengungkapan diri (bukan hanya patuh pada orang lain) dan hasil aktivitas sebagai cara belajar atau pengembangan dirinya, murid harus mempelajari pranata-pranata sosial dan cara hidup dengan jalan ikut berperan-serta dalam sekolah maupun masyarakat, dan yang terakhir ialah pendidikan harus menunjang kelangsungan pranata, adat istiadat, keterampilan dan pengetahuan dari generasi yang satu ke generasi yang berikutnya.[29]
Dalam buku yang dikutip Iman bagi Dewey kedudukan pendidikan sejalan dengan konsep pertumbuhan manusia. Ia akan terus mengikuti sepanjang manusia tersebut masih tumbuh, maka pendidikan masih terus berjalan. Hal ini sesuai dengan prinsip long life education. Islam juga mengenal istilah ini yang didasarkan pada sebuah ajaran Nabi, bahwa belajar (menuntut ilmu=pendidikan) adalah dari ayunan (mahdi) sampai meninggal (lahdi). Konsep pendidikan sejalan dengan konsep pertumbuhan menjadikan pengalaman sebagai dasar pijak untuk memberikan materi pendidikan. Belajar berdasarkan pengalaman dalam Islam juga ditekankan, setidaknya dengan sebuah ayat al-Qur’an yang menganjurkan untuk selalu menjadikan pengalaman sebagai bahan perenungan bagi perbaikan pada hari berikutnya.[30]
Kosep pendidikan berdasarkan pengalaman inilah yang dapat dikembangkan sebagai basis pendidikan partisipatif. Peserta didik diberikan pendidikan sesuai dengan kadar pengalaman yang dimiliki, sehingga lebih memungkinkan untuk melibatkannya secara aktif dalam setiap proses pendidikan.[31]
H.    Penutup
Pragmatisme dalam teori kebenarannya memang terlihat sangat tidak Islami yaitu dimana yang benar adalah yang memberikan kegunaan dan yang salah adalah jika sesuatu tidak memberikan konsekuensi-konsekuensi yang efektif sehingga benar salah akan menjadi sangat subyektif. Namum begitu, bukan berarti bahwa pemikiran pragmatisme tidak cocok atau lebih parah lagi dihukmi haram untuk diterapkan dalam pendidikan Islam. Karena ada hikmah yang dapat diambil dari pemikiran pragmatisme sehingga pendidikan Islam dapat lebih di arahkan ke hal-hal yang lebih maju. Pragmatisme membantu dunia pendidikan khususnya lagi pendidikan Islam sehingga pendidikan Islam dapat lebih bermanfaat bagi kehidupan masyarakat. Jika tidak setuju dengan “benar-salah” dalam teori pragmatisme mungkin istilah tersebut dapat diganti dengan “efektif-tidak efektif” sehingga akan menghilangkan kesan tidak nyaman berkaitan bahwa kebenaran berasal dari al-qur’an.
DAFTAR PUSTAKA

Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 2010.

Iman, Muis Sad, Pendidikan Partisipatif, Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004

Knight, George R., Filsafat Pendidikan, terjemah: Mahmud Arif Yogyakarta: Gama Media, 2007

Muhadjir, Noeng, Filsafat Ilmu Positivisme, Postpositivisme, PostModernisme, Yogyakarta: Rakesarasin, 2001

Smith, Samuel, Gagasan-Gagasan Besar Tokoh-Tokoh dalam Bidang Pendidikan, Alih bahasa Bumi Aksara, (Tanpa kota: Bumi Aksara, 1986

Widodo, Sembodo Ardi , Kajian Filosofis Pendidikan Barat dan Islam,  Jakarta: Nimas Multima, 2003.

Christy, “Pendidikan Indonesia Harus Punya Nilai Pragmatis”,  seniindonesia.multiply.com/... /pendidikan_Indonesia_harus_punya_nilai_pragmatis_John_DeweY  -  dalam Google.com. 26 Oktober 2010


[1] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta: Kanisius, 2010), hal. 130.
[2] Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu Positivisme, Postpositivisme, PostModernisme, (Yogyakarta: Rakesarasin, 2001), hal. 38.
[3] Ibid., hal. 124.
[4] Christy, “Pendidikan Indonesia Harus Punya Nilai Pragmatis”,  seniindonesia.multiply.com/... /pendidikan_Indonesia_harus_punya_nilai_pragmatis_John_DeweY  -  dalam Google.com. 26 Oktober 2010, 13.50
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8]Seperti yang dikutip Sembodo Ardi Widodo dalam buku , Kajian Filosofis Pendidikan Barat dan Islam,  (Jakarta: Nimas Multima, 2003), hal. 89
[9] Ibid., hal. 89-90
[10] Ibid., hal. 91
[11] Sembodo Ardi Widodo, Kajian Filosofis Pendidikan Barat dan Islam,  (Jakarta: Nimas Multima, 2003), hal. 91
[12] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta: Kanisius, 2010), hal. 134.
[13] George R. Knight, Filsafat Pendidikan, terjemah: Mahmud Arif (Yogyakarta: Gama Media, 2007), hal. 112
[14] Seperti yang dikutip George R. Knight dalam buku, Filsafat Pendidikan, terjemah: Mahmud Arif (Yogyakarta: Gama Media, 2007), hal. 113-114.

[15] George R. Knight, Filsafat Pendidikan, terjemah: Mahmud Arif (Yogyakarta: Gama Media, 2007), hal. 113-114.
[16] Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu Positivisme, Postpositivisme, PostModernisme, (Yogyakarta: Rakesarasin, 2001), hal. 126-127.
[17] Ibid., hal. 127
[18] George R. Knight, Filsafat Pendidikan, terjemah: Mahmud Arif (Yogyakarta: Gama Media, 2007), hal. 115.
[19] Seperti yang dikutip Muis Sad Iman dalam buku, Pendidikan Partisipatif, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004), hal. 69-70.
[20] Ibid., hal. 70
[21]Seperti yang dikutip Noeng Muhadjir dalam buku, Filsafat Ilmu Positivisme, Postpositivisme, PostModernisme, (Yogyakarta: Rakesarasin, 2001),., hal. 130
[22] Sembodo Ardi Widodo, Kajian Filosofis Pendidikan Barat dan Islam,  (Jakarta: Nimas Multima, 2003), hal. 91
[23] Ibid., hal. 92
[24] Seperti yang dikutip Sembodo Ardi Widodo dalam buku, Kajian Filosofis Pendidikan Barat dan Islam,  (Jakarta: Nimas Multima, 2003), hal. 91
[25] Ibid., 92
[26] Ibid., 93-94
[27] Samuel Smith, Gagasan-Gagasan Besar Tokoh-Tokoh dalam Bidang Pendidikan, Alih bahasa Bumi Aksara, (Tanpa kota: Bumi Aksara, 1986), hal. 258.
[28] Ibid., hal. 260
[29] Ibid., hal. 260-261
[30] Muis Sad Iman dalam buku, Pendidikan Partisipatif, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004), hal. 126
[31] Ibid.

1 komentar:

  1. Blackjack Tournament 2020: Betting odds, payouts - KTNV
    For the best 안산 출장안마 live 양산 출장샵 blackjack tournament 경상북도 출장안마 in 경산 출장샵 the 제주 출장안마 U.S., here are the odds for 2020 Las Vegas Blackjack Tournament.

    BalasHapus