Sabtu, 02 April 2011

STRATEGI PENGEMBANGAN MADRASAH

Oleh: Barik Fidaroin
PENDAHULUAN
Undang-Undang Dasar 1945 yang secara historis disebut sebagai Indonesian Declaration of Independence, dalam pembukaannya secara jelas mengungkapkan alasan didirikannya negara untuk mempertahankan bangsa dan tanah air, meningkatkan kesejahteraan rakyat, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta dalam mewujudkan perdamaian dunia yang abadi dan berkeadilan.[1]
Konsep pencerdasan kehidupan bangsa berlaku untuk semua komponen bangsa. Oleh karena itu UUD 1945 pada pasal 31 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, dan ayat (3) menegaskan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia.[2]
Sebagai lembaga pendidikan yang sudah lama berkembang di Indonesia, madrasah selain telah berhasil membina dan mengembangkan kehidupan beragama di Indonesia, juga ikut berperan dalam menanamkan rasa kebangsaan ke dalam jiwa rakyat Indonesia. Disamping itu madrasah juga sangat berperan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
Namun demikian, performa madrasah sampai pada saat ini masih sangat rendah. Beberapa permasalahan telah berhasil diidentifikasi menjadi penyebabnya, baik pada tingkat pengelolaan maupun kebijakan. Masalah kurikulum madrasah yang masih belum fokus dan proses pendidikan yang belum mendukung pada visi dan misi madrasah, merupakan contoh issu di tingkat pengelolaan, sedangkan kebijakan pengembangan madrasah yang masih bersifat “setengah-setengah” serta belum adanya “cetak biru” pengembangan madrasah merupakan contoh issu di tingkat kebijakan.[3]
Kondisi madrasah secara umum juga cukup memprihatinkan, sebagian besar memiliki banyak kekurangan baik guru, buku-buku, sarana dan prasarana maupun fasilitas penunjang lainnya. Kekurangan tenaga guru tidak hanya dari segi kuantitas, tetapi kualitas pun masih belum memadai. Hal ini akan berakibat pada rendahnya kualitas out put upaya pengembangan madrasah sehingga madrasah tidak kalah bersaing dengan sekolah-sekolah lain dan dapat menghasilkan out put pendidikan yang bermutu dan berkualitas.
A.    Kebijakan Pemerintah dalam Memperkuat Eksistensi Madrasah
Berkaitan dengan Kepres No. 34 tahun 1972 dan Inpres No. 15 Tahun 1974, pemerintah mengambil kebijakan yang lebih operasional dalam kaitannya dengan madrasah. Pada tahun 1975 dikeluarkan Surat Keputusan Bersama Tiga Meneteri mengenai Pendidikan Mutu Pendidikan dan Madrasah. Dalam Surat Keputusan Bersama itu, masing-masing Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Dalam Negeri memikul tanggung jawab dalam pembinaan dan pengembangan pendidikan madrasah.  
Kelahiran SKB Tiga Menteri memang antara lain untuk mengatasi kekhawatiran umat Islam akan dihapuskannya sistem pendidikan madrasah sebagai konskuensi dari Kepres No. 34 Tahun 1972 dan Inpres No. 15 Tahun 1974. Menarik untuk dicatat bahwa keluarnya SKB itu didasarkan pada hasil Sidang Kabinet terbatas pada tanggal 26 Nopember 1974. Pada sidang kabinet itu Menteri Agama RI Mukti Ali menyampaikan kecemasan umat Islam berkaitan dengan isi dan implikasi lebih jauh dari Kepres dan Inpres di atas. Pemerintah ternyata memberi perhatian terhadap masalah tersebut, sehingga Presiden mengeluarkan petunjuk pelaksanaan Kepres No. 34 Tahun 1972 dan Inpres No. 15 Tahun 1974 yang isinya:
1.      Pembinaan pendidikan umum adalah tanggung jawab Mentei Pendidikan dan Kebudayaan, sedangkan tanggung jawab Pendidikan Agama menjadi tanggung jawab Menteri Agama.
2.      Untuk pelaksanaan Kepres No. 34 Tahun 1972 dan Inpres No. 15 Tahun 1974 dengan sebaik-baiknya perlu ada kerja sama antara Departemen P&K, Departemen Dalam Negeri dan Departemen Agama.[4]
Dengan keluarnya petunjuk pelaksanaan tesebut, ketegangan antara pendidikan agama dengan pendidikan nasional memang dapat diatasi. Petunjuk pelaksanaan itu mengandung perbedaan yang cukup mendasar dengan Kepres dan Inpres, di mana di situ dengan tegas dinyatakan bahwa hak dan tanggung jawab pengelolaan pendidikan agama tetap berada pada Departemen Agama. Dengan demikian, Juknis telah memberikan sebuah model solusi yang di satu sisi memberikan pengakuan eksistensi pendidikan Islam- termasuk madrasah dan IAIN-dan penegasan bahwa pengelolaannya tetap di tangan Depatemen Agama, namun disisi lain tetap memberikan kepastian akan berlanjutbya usaha yang mengarah pada pembentukan sistem pendidikan nasional yang integratif.
Sebagai tindak lanjut, Juknis itu segera diikuti dengan penyusunan SKB Tiga Menteri. Bagi kalangan yang mempertahankan eksistensi madrasah baik dari lingkungan Departemen Agama sendiri maupun dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, penyusunan SKB Tiga Menteri itu merupakan langkah yang strategis.  
Dalam konteks di atas, sejumlah diktum yang memperkuat posisi madrasah lebih ditegaskan lagi dengan memerinci bagian-bagian yang menunjukkan kesetaraan madrasah dengan sekolah. Dalam Bab I, pasal 1, ayat 2 misalnya dinyatakan:
Madrasah itu meliputi tiga tingkatan:
1.      Madrasah Ibtidaiyah, setingkat dengan Sekolah Dasar
2.      Madrasah Tsanawiyah, setingkat dengan Sekolah Menengah Pertama
3.      Madrasah Aliyah, setingkat dengan Sekolah Menengah Atas
Selanjutnya dalam Bab II pasal 2 disebutkan bahwa:
1.      Ijazah Madrasah dapat mempunyai nilai yang sama dengan ijazah sekolah Umum yang setingkat
2.      Lulusan Madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat lebih atas.
3.      Siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat.
Mengenai pengelolaan dan pembinaan dinyatakan dalam Bab IV pasal 4 sebagai berikut:
1.      Pengelolaan Madrasah dilakukan oleh Menteri Agama
2.      Pembinaan mata pelajaran agama pada madrasah dilakukan oleh menteri agama.
3.      Pembinaan dan pengawasan mutu mata pelajaran umum pada Madrasah dilakukan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, bersama-sama dengan Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri.[5]
SKB Tiga Menteri ini dapat dipandang sebagai pengakuan yang lebih nyata terhadap eksistensi madrasah dan sekaligus merupakan langkah strategis menuju tahapan integrasi madrasah ke dalam Sistem Pendidikan Nasional yang tuntas. Dengan SKB tersebut madrasah memperoleh definisinya yang semakin jelas sebagai lembaga pendidikan yang stara dengan sekolah sekalipun pengelolaannya tetap berada pada Departemen Agama. Dalam hal ini, madrasah tidak lagi hanya dipandang sebagai lembaga pendidikan keagamaan atau lembaga penyelenggaraan kewajiban belajar, tetapi sudah merupakan lembaga pendidikan yang menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar yang sekurang-kurangnya 30%, disamping mata pelajaran umum.
Kemudian dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pemerintah juga semakin mengukuhkan keeksistensian dari sebuah madrasah. Hal ini dibuktikan dalam setiap pasal yang menyebutkan kata sekolah pasti diikuti dengan kata madrasah. Untuk Sekolah Dasar diikuti oleh Madrasah Ibtidaiyah, untuk Sekolah Menengah Pertama diikuti oleh Madrasah Tsanawiyah, dan untuk Sekolah Menengah Atas diikuti oleh Madrasah Aliyah. Contohnya pada Pasal 56 ayat 1 dan 3 Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, yaitu menyebutkan:
1.      (1) Masyarakat berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan yang meliputi perencanaan, pengawasan dan evaluasi program pendidikan melalui dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah.
2.      (3) Komite sekolah/madrasah sebagai lembaga mandiri, dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan.[6]
Pengukuhan selanjutnya yang dilakukan pemerintah terdapat dalam hal jalur, jenjang dan jenis pendidikan dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas. Yaitu dalam Pasal 17 ayat 2 menyebutkan “Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat” dan Psal 18 ayat 3 menyebutkan “ Pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK) atau bentuk lain yang sederajat”.[7]
B.     Issu Pengembangan Madrasah Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Bangsa Indonesia pada era globalisasi yang menantang ini dihadapkan pada perubahan-perubahan yang menuntut adanya sistem keterbukaan politik, ekonomi, dan budaya. Era ini juga disebut dengan era persaingan bebas dan keunggulan teknologi informaasi. Semua aspek kehidupan akan berubah secara drastis yang beriringan dengan semakin tidak jelasnya batasan regional.
Tatanan masyarakat baru di atas akan melahirkan tuntutan-tuntutan dan tantangan baru pula. Tuntutan adanya keterbukaan dalam politik, pembagian kekuasaan serta sumber daya alam, menghargai hukum dan dan hak asasi manusia serta transparansi dalam kebijakan pemerintah akan semakin kuat. Atas dasar inilah maka memasuki era baru ini masyarakat menghendaki adanya dekosentrasi dan desentralisasi serta otonomi dalam mengambil kebijakan pembangunan. Keinginan ini telah dituangkan melalui Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang pertimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom.[8]
Perbahan yang terjadi pada gilirannya akan mempengaruhi tata nilai kehidupan masyarakat yang mungkin sekali baru dan berbeda dengan gaya nilai yang sekarang dianut masyarakat. Pada proses perubahan ini kesiapan lembaga pendidikan dan institusi sosial lainnya menjadi sangat penting. Sebab masyarakat yang berada pada proses transisi kultural sangat labil pada berbagai benturan nilai. Dalam hal ini maka institusi pendidikan Islam khususnya lagi madrasah diharapkan dapat menjadi salah satu kekuatan yang dapat memberikan kontribusinya untuk pembentukan kultural Indonesia Baru yang berdasarkan pada nilai-nilai transendental. Pembinaan pendidikan yang dilakukan oleh Departemen Agama selama ini masih perlu langkah-langkah penyesuaian yang strategis, utamanya dalam rangka mencari bentuk dan pemecahan masalah sehubungan dengan kemungkinan di berlakukannya Otonomi Daerah dan Desentralisasi di bidang pendidikan secara keseluruhan.
Usaha ke arah pengembangan pembinaan madrasah adalah sebagai kerangka dasar strategis pengembangan madrasah pada umumnya yang secara bertahap perlu dikembangkan sejalan dengan tuntutan dan perkembangan masyarakat yang penjabarannya lebih lanjut dituangkan dalam berbagai peraturan dan pedoman pelaksanaanya yang operasioanal. Pengembangan pembinaan madrasah dimaksudkan di dalamnya mencakup satu pilihan sistem, pendekatan, sumber dana dan sarana yang betul-beetul diperlukan untuk mencapai sasaran dan tujuan pembangunan.
Posisi strategis usaha pengembangan di bidang pendidikan pada madrasah sedikitnya dapat dilihat dari dua segi, yaitu:
1.      Dari segi kedudukannya sebagai bagian integral dari kesatuan sistem Pendidikan Nasional. Dalam hal ini madrasah dituntut untuk mampu memenuhi tuntutan dan kebutuhan masyarakat, di samping harus memiliki hubungan yang akrab dengan sistem dengan sistem Pendidikan Nasional itu sendiri.
2.      Dari segi kedudukannya sebagai bagian terpenting dari pembangunan sektor agama yang merupakan bagian integral dari pembangunan nasional. Dalam hal ini setiap upaya pengembangan madrasah harus mengacu agar madrasah dapat menunjang pembangunan sektor agama secara keseluruhan dengan tetap memelihara identitas dan kaakteristiknya sendiri sebagai sekolah agama dan lembaga keagamaan.[9]
Dengan demikian pengembangan pembinaan madrasah pada masa mendatang diorientasikan untuk menciptakan situasi yang kondusif agar dapat melakukan adaptasi dan akomodasi terhadap tuntutan program pendidikan dan tetap memelihara bobot dan identitas ciri kekhususannya sebagai lembaga pendidikan keagamaan.
C.    Arah dan Kerangka Pengembangan Madrasah
Kenyataan menunjukkan bahwa saat ini telah terjadi reduksi pemaknaan pendidikan. Kenyataan ini sudah seharusnya dikembalikan kepada makna yang sesungguhnya dari pendidikan itu sendiri. Pendidikan, sesuai dengan visi yang diembannya harus mencerinkan kemampuannya untuk mengakomodasikan berbagai tuntutan peran yang multidimensional.
Bertolak dari kenyataan tersebut arah pengembangan pendidikan di madrasah bertujuan untuk dapat mengantarkan peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa, berakhlak mulia, berkepribadian, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, serta mampu mengaktualisasikan diri dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara.[10]
Spektrum tujuan pendidikan madrasah sebagaimana disebutkan di atas yang sejalan dengan kemajuan masyarakat memerlukan penjabaran bagi pelaksanaannya pada setiap jenis dan bidang pendidikan sebagaimana dikemukakan beriktu:
1.      Pendidikan dasar yang meliputi Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan Madrasah Tsanwiyah (MTs) menekankan kemampuan umum yang diperlukan untuk hidup bermasyarakat dan bernegara. Menteri pendidikan tingkat dasar di madrasah ini lebih mengutamakan pada pembekalan kemampuan yang fungsional untuk kehidupan dalam berbagai bidang: sosial, budaya, ekonomi, dengan berbasis pada nilai-nilai ajaran agama Islam. Sejalan dengan semakin kompleksnya tantangan kehidupan, maka pendidikan dasar di Indonesia adalah sembilan tahun. Asumsinya adalah apabila pendidikan minimum ini tidak dicapai maka seseorang akan mengalami kesulitan dalam mengikuti perkembangan di sekelilingnya.
2.      Pendidikan menengah yaitu Madrasah Aliyah (MA) memiliki tujuan utama yaitu mempersiapkan peserta didik untuk dapat melanjutkan pendidikannya pada jenjang perguruan tinggi.[11]
Dengan arah dan tujuan pendidikan sebagaimana tersebut di atas, maka acuan pemikiran dalam penataan dan pengembangan pendidikan madrasah harus mampu mengakomodasi berbagai pandangan dan pendapat secara selektif, sehingga terdapat keterpaduan dalam konsep pengembangannya. Beberapa prinsip dasar yang menjadi acuan dalam pengembangan madrasah antara lain:
1.      Membangun prinsip kesetaraan antara sektor pendidikan madrasah sengan sektor pendidikan (di luar madrasah), dan dengan sektor-sektor lainnya. Kehadiran sistem pendidikan madrasah harus senantiasa dimaknai sebagai adanya keharusan untuk bersama-sama sistem lainnya mewujudkan cita-cita masyarakat.
2.      Prinsip perencanaan pendidikan. Pendidikan madrasah bersifat progresif, tidak resisten terhadap perubahan, akan tetapi mampu mengendalikan arah perubahan itu.
3.      Prinsip rekonstruksionis. Dalam kondisi masyarakat yang menghendaki perubahan mendasar artinya juga perubahan dengan skala besar berdasarkan gagasan besar, maka pendidikan madrasah juga harus mampu menghasilkan produk-produk yang dibutuhkan.
4.      Prinsip pendidikan berorientasi pada peserta didik.  Dalam memberikan pelayanan pendidikan sifat-sifat peserta didik yang bersifat umum maupun spsifik harus menjadi pertimbangan.
5.      Prinsip pendidikan multibudaya. Sistem pendidikan madrasah harus memahami bahwa masyarakat yang dilayaninya bersifat plural, dan oleh karenanya pluralisme perlu menjadi acuan yang tak kalah pentingnya dengan acuan-acuan yang lain.
6.      Prinsip pendidikan global. Pendidikan madrasah harus mampu berperan dalam menyiapkan peserta didik dalam konstelasi masyarakat global.[12]
D.    Strategi perencanaan pengembangan madrasah
Secara singkat dapat dikemukakan bahwa permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan madrasah adalah lembaga pengelola kurang fungsional, organisasi kelembagaan kurang lengkap, sarana dan prasarana pendidikan belum memenuhi standar, kebanyakan kepemilikan oleh swasta dengan implikasinya sistem akreditasi yang belum mapan, penyebaran madrasah belum merata pada setiap komunitas umat Islam, jumlah guru kurang memadai, penempatan guru tidak merata, kualitas mengajar guru masih rendah, keahlian guru tidak sesuai, tenaga administrasi jumlahnya terbatas.[13]
Mengingat banyaknya jumlah persoalan yang dihadapi dalam pengembangan madrasah secara nasional yang jelas dan memiliki komitmen tinggi terhadap aspirasi yang terus berkembang dan berubah secara sangat cepat. Karena itu disamping kejelasan rancangan, rencana pengembangan juga harus lentur terhadap kemungkinan perubahan situasi dan kondisi. Dalam kaitan ini, kearifan rekayasa bagi kegiatan yang tepat sasaran, merupakan persyaratan personil yang terlibat dalam menejemen baik pada tingkat nasional maupun regional. Untuk maksud tersebut dikemukakan beberapa hal yang menjadi dasar strategi pengembangan madrasah:
1.      Menjadikan ajaran agama Islam sebagai basic references seluruh kegiatan pengembangan pendidikan di madrasah. Ajaran Islam merupakan fondasi dari seluruh aktivitas kehidupan manusia muslim, karena itu proporsional manakala setiap kegiatan pendidikan di madrasah memakai rujukan utama Al-Qur’an, baik pada tingkat literal maupun konseptual. Hal ini penting lantaran hasil pengembangan kehidupan masyarakat yang Islami. Dalam tataran yang lebih makro, pendidikan di madrasah harus menghasilkan lulusan yang memiliki kedudukan sentral dalam memberi warna kehidupan masyarakat sekitarnya. Bertolak dari cara pandang ini maka pembangunan madrasah di Indonesia harus mengacu kepada ajaran Islam dalam berbagai segi dan kegiatannya. Pada dataran manajemen madrasah tingkat nasional hal ini bermula dari perencanaan pengembangan sejalan sejalan penyusunan falsafah dasar sampai terakhir dalam bentuk rencana detail pengembangan tiap komponen pembangunan madrasah. Sementara pada dataran tingkat lokal, warna seluruh implementasinya terletak sejakperencanaan pembuatan kurikulum, rekrutmen murid dan guru, proses belajar mengajar kepada pelepasan anak didik dan penarikan sumber daya pendidik dari aktivitas pendidikan.[14]
2.      Madrasah sebagai lembaga pendidikan umum  yang beciri khas agama Islam, berfungsi sebagai pengembang dasar-dasar keterampilan multidimensi. Hal ini lantaran pendidikan pada madrasah pada dasarnya merupakan subsistem dari pendidikan umum yang sederajat. Pendidikan pada madrasah memiliki fungsi yang sama dengan pendidikan umum lainnya yakni untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam rangka upaya mewujudkan tujuan nasional. Demikian juga halnya dengan tujuan pada pendidikan madrasah. Ia terikat pada tujuan pendidikan nasional yakni “mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.” Sejalan dengan semakin terdiversifikasi jenis-jenis keterampilan pembangunan yang diperlukan, maka pengembangan dasar-dasar keilmuan dan penguasaan keterampilan profesional tingkat menengah pun (dalam hal ini pendidikan di madrasah) perlu pengembangan ke segala sektor kehidupan.  Sudah barang tentu hal ini dengan memperhitungkan kondisi daerah, kecenderungan penyediaan sumber daya alam, keterbukaan peluang sektor-sektor profesi kehidupan serta ketersediaan sumber daya manusianya.[15]
3.      Pengembangan secara bertahap. Pengembangan madrasah baik negeri maupun swasta ke arah yang menjadi visi rencana pengembangan harus dilakukan secara bertahap. Pentahapan dalam pengembangan dimaksudkan supaya dalam kegiatan-kegiatan yang sifatnya ad-hock terhindari, sebab kegiatan demikian akan mengakibatkan program antar periode jabatan pejabat jadi tidak dalam satu kesatuan yang menyeluruh. Sehingga pengembangan tidak pernah selesai dan diketahui hasilnya secara jelas. Diharapkan melalui pengembangan secara bertahap, kompleksitas permasalahan dapat dikurangi serta berbagai intervensi atas kegiatan pembinaan, lantaran aspirasi yang berubah terlalu cepat dan meloncat-loncat. Dengan melihat permasalahan tersebut di atas dapat diketahui bahwa dalam pengembangan madrasah secara nasional sangat diperlukan antara lain adanya peningkatan keterampilan manajemen dan kesadaran fungsi masing-masing bagian pengelola madrasah secara keseluruhan, diperlukan pengadaan dan penyempurnaan sarana dan prasarana pendidikan baik fasilitas fisik maupun fasilitas non fisik (seperti perangkat supervisi guru), pengadaan dan peningkatan mutu staf pengajar, pengadaan dan peningkatan mutu staf tata usaha, rangsangan kegiatan siswa serta pembinaan lulusan-lulusan.[16]
4.      Dengan melihat permasalahan di atas maka tahapan-tahapan pengembangan madrasah setidaknya memerlukan empat tahapan yaitu:
a.       Pemerataan kesadaran dan keterampilan manajemen pada tingkat pengelola dan pelaksanaan madrasah.
b.      Pengembangan sarana dan prasarana pendidikan madrasah
c.       Pengadaan dan peningkatan mutu staf pengajar
d.      Pengadaan dan peningkatan mutu staf tata usaha[17]
E.     Strategi Manajemen Berbasis Madrasah
1.      Penyiapan Konsep
Banyak faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan MBM, misalnya tingkat ekonomi masyarakat, sosial budaya, politik dan taraf pendidikan masyarakat, kebijakan pemerintah, organisasi, kepemimpinan kepala madrasah, strategi pembelajaran, dan profesionalisme tenaga pendidikan. Kesemuanya itu merupakan komponen yang perlu diperhatikan dalam konteks MBM. Sehubungan dengan itu sedikitnya terdapat 6 hal yang perlu diperhatikan dalam penyiapan konsep MBM:
a.       Pemilihan kepala madrasah dan pendidik profesional
b.      Bentuk partisipasi masyarakat dan orang tua (komite madrasah)
c.       Pendanaan madrasah
d.      Kualitas pembelajaran dan lulusan madrasah
e.       Keterlibatan stakeholders pendidikan
f.       Political will pemerintah pada berbagai lapisan.[18]
2.      Pengelompokan madrasah
Perbedaan kemampuan manajemen menuntut perlakuan yang berbeda terhadap setiap madrasah sesuai dengan tingkat kemampuan masing-masing dalam menyerap paradigma baru yang ditaawarkan. Misalnya suatu madrasah mungkin hanya memerlukan pelatihan dalam melaksanakan MBM, tetapi mungkin madrasah memerlukan dukungan lain dari pemerintah agar dapat menerapkan paradigma baru tersebut. Dengan mempertimbangkan kemampuan, kewajiban, dan kewenangan madrasah terhadap pelaksanaan MBM, dapat dibedakan antara satu madrasah dengan yang lain. Dalam hal ini Departemen Agama dan jajarannya perlu melakukan berbagai upaya bagi pengembangan madrasah yang kurang memiliki kemampuan manajemen dalam mempersiapkan implementasi MBM, termasuk masalah pendanaan, pengadaan fasilitas, dan sumber belajar.[19]
3.      Pentahapan implementasi MBM
Implementasi MBM secara menyeluruh sebagai realisasi desentralisasi pendidikan memerlukan perubahan-perubahan mendasar terhadap aspek-aspek yang menyangkut keuangan, ketenagaan, kurikulum, sarana dan prasarana, serta partisipasi masyarakat. Mengingat kompleksnya permasalan pendidikan di madrasah, MBM perlu dilaksanakan secara bertahap, paling tidak melalui tiga tahap: yaitu jangka pendek (tahun pertama sampai dengan tahun ketiga), jangka menengah (tahun keempat sampai tahun keenam), dan jangka pangjang setelah tahun keenaam.
Untuk implementasi MBM sendiri maka diperlukan empat tahapan yaitu:
a.       Tahap sosialisasi. Tahap ini merupakan tahap yang penting mengingat luasnya wilayah nusantara terutama daerah-daerah yang sulit dijangkau oleh media informasi, baik cetak maupun elektronik.
b.      Tahap piloting. Tahap ini merupakan tahap uji coba agar penerapan konsep menejemen berbasis madrasah tidak mengandung resiko.
c.       Tahapan pelaksanaan. Tahap ini merupakan tahap untuk melakukan berbagai diskusi, curah pendapat dan lokakarya mini antar kelompok kerja MBM dengan berbagai unsur terkait, yakni guru, kepala madrasah, pengawas, tokoh agama, pengusaha, dan para akademisi.
d.      Tahap diseminasi. Tahap ini merupakan tahap memasyarakatkan model MBM yang telah diujicobakan ke berbagai madrasah baik negeri maupun swasta, agar seluruh madrasah dapat mengimplementasikan MBM secara efektif dan efisien, sesuai dengan kondisinya masing-masing.[20]
F.     Faktor Penghambat Pengembangan Madrasah
Masalah klasik yang tetap aktual karena masih sering dipersoalkan oleh para pakar pendidikan Islam adalah adanya dikotomi dalam sistem pendidikan. Dualisme dikotomik ini nampaknya sudah berkembang dan dianggap sebagai sistem pendidikan modern yang sesuai dengan zaman. Sebenarnya hal ini tidak boleh terjadi, karena dualisme dikotomik yaitu sistem pendidikan Barat yang dinasionalisasikan dengan menambah beberapa mata pelajaran agama (Islam) dan sistem pendidikan (Islam) yang berasal dari zaman klasik (tradisional) yang tidak diperbaharui secara mendasar, mempunyai arah yang berbeda atau dalam beberapa sisi penting justru bertolak belakang.
Permasalahan yang dihadapi madrasah pada umumnya juga merupakan permasalahan yang dihadapi pendidikan Islam. Sementara permasalahan pendidikan Islam bukan hanya menyangkut persoalan dalam kelas tetapi juga meliputi masalah dakwah Islam dan pembangunan sistem kehidupan umat yang Islam, sebagai peradaban Islam alternatif. Pola hubungan tiga masalah pokok yang dimaksud secara global dapat dijelaskan bahwa bentuk aktivitas dakwah Islam yang tidak bisa menyajikan Islam secara kaffah menyebabkan sistem pendidikan ini dikotomik. Sistem pendidikan yang dikotomik menyebabkan lahirnya sistem pendidikan umat Islam yang sekularistik, rasionalistik-empiristik, intuitif dan materialistik, dan keadaan tersebut tidak mendukung tata kehidupa umat yang mampu melahirkan peradaban Islami.
Sementara itu, Ahmad Watik Pratiknya (1991) mencatat bahwa sungguhpun  umat Islam mempunyai tradisi dan lembaga-lembaga kependidikan yang cukup luas dengan makin berkembangnya kehidupan sosial budaya masyarakat Indonesia, dalam potret masa kini dirasakan adanya ketertinggalan sistem pendidikan umat yang tercermin dengan berbagai permasalahannya yang secara langsung maupun tidak langsung merupakan kendala bagi tercapainya tujuan pendidikan umat itu sendiri. Permasalahan tersebut antara lain meliputi :
Aspek Perencanaan
1.      Agama cenderung hanya dipelajari secara rasional teoritik saja, sehingga agama lebih sebagai ilmu daripada tuntunan atau pandangan hidup yang membuahkan pemikiran, perilaku dan akhlaq yang Islami.
2.      Ilmu agama mengalami stagnasi perkembangan dan sejalan dengan itu para ahli di bidang inipun semakin menyusut, baik kualitatif maupun kuantitatif.
3.      Pandangan sebagian besar umat tentang Islam masih bersifat dikotomik atau bahkan sekularistik.
4.      Strategi pengembangan pendidikan umat kurang diorientasikan pada pemecahan problem yang dihadapi umat di masa mendatang, tetapi lebih berorientasi pada masa lalu.


Aspek Perangkat Lunak
1.      Tujuan pendidikannya kebanyakan tidak terperinci atau terlalu umum, sehingga tidak dapat dijadikan sebagai alat evaluasi. Di samping itu juga, tujuannya kurang diorientasikan pada acuan problematis umat.
2.      Banyak lembaga pendidikan madrasah dan sekolah Islam mengalami “kriris kepemimpinan” dan “krisis kebijakan” karena perkembangannya lebih banyak dipengaruhi oleh variabel luar.
3.      Masjid, usroh, majelis-majelis ta’lim (pengajian) tidak mempunyai program yang utuh dan terencana sebagai lembaga pendidikan umat dan bahkan cenderung bersifat sporadis dan simplisistik. Proses pendidikannya lebih bersifat individual daripada sifat ummatik dan behavioral.[21]
Dalam dataran realitas, permasalahan paling pokok dan substansial yang dihadapi madrasah dan hal ini boleh dianggap sebagai kelemahan mendasar madrasah ialah ketidakmampuan madrasah mengimbangi dinamika kebutuhan masyarakat akan kualitas pendidikan yang semakin tinggi serta dinamika pendidikan pada umumnya, di mana kondisi tersebut diperparah oleh kebijakan pemerintah sendiri yang masih menganggap madrasah sebagai ‘anak tiri’ dan diperlakukan sebagai sekolah kelas dua. Akibatnya, apresiasi masyarakat terhadap madrasah umumnya kurang menggembirakan dan memandang madrasah sebagai pilihan kedua. Kurang tertariknya masyarakat untuk memilih lembaga-lembaga pendidikan Islam, sebenarnya bukan karena telah terjadi pergeseran nilai atau ikatan keagamaannya yang mulai memudar, melainkan karena sebagian besar lembaga-lembaga tersebut kurang menjanjikan masa depan dan kurang responsif terhadap tuntutan dan permintaan saai ini maupun mendatang. Padahal, paling tidak ada 3 hal yang menjadi pertimbangan masyarakat dalam memilih lembaga pendidikan, yaitu nilai (agama), status sosial dan cita-cita. Masyarakat yang terpelajar akan semakin beragam pertimbangannya dalam memilih pendidikan bagi anak-anaknya.
Ketidakmampuan madrasah dalam mengimbangi dinamika kebutuhan masyarakat menurut beberapa pakar pendidikan Islam disebabkan oleh manajemen/pengelolaan sistem pendidikan yang tidak profesional, terlebih pada aspek perencanaan, penyiapan tenaga pengajar, kurikulum dan pelaksanaan pendidikan Islam itu sendiri. Akibat pengelolaan yang tidak profesional itu, lembaga pendidikan Islam (madrasah) sering kalah bersaing dengan sub sistem pendidikan nasional yang diselenggarakan kelompok-kelompok masyarakat lain.
Bukan rahasia, bahwa citra dan gengsi lembaga pendidikan Islam sering dipandang lebih rendah dibandingkan dengan sistem pendidikan yang diselenggarakan pihak-pihak lain. Dalam kaitan ini, -seperti yang diungkapkan Azyumardi Azra- kita tidak bisa menyalahkan orang tua muslim yang menyerahkan anak-anak mereka ke lembaga pendidikan lain tersebut, selama semua pihak yang terlibat dalam sistem pendidikan Islam tidak berikhtiar secara serius, sistematis dan komprehensif dan programatis membenahi dan mengembangkan sistem pendidikan Islam itu sendiri.
G.    Faktor Pendukung Pegembangan Madrasah
Sesungguhnya madrasah adalah sekolah plus, yaitu plus agama. Dari sisi ini pula sesungguhnya madrasah adalah sekolah unggulan, yaitu sekolah yang memiliki keunggulan dalam hal pembelajaran agama. Seluruh mata pelajaran umum yang ada di sekolah bisa dipastikan dipelajari di madrasah, tetapi sebaliknya tidak semua pelajaran yang ada di madrasah dipelajari di sekolah.
Mata "pelajaran agama" yang dipelajari di madrasah tidak seluruhnya ada di sekolah. Di sekolah memang ada pelajaran agama, tetapi dari sisi kuantitas dan kualitasnya jauh berada di bawah pelajaran agama yang diajarkan di madrasah. Pelajaran agama di sekolah hanya satu jenis bidang ilmu, yaitu ilmu agama Islam yang diajarkan hanya 2 jam seminggu.
Pelajaran agama di sekolah memang padat, tetapi lebih mengesankan sebagai kompilasi pengetahuan agama daripada sebagai ilmu-ilmu Islam dalam arti sempit. Sedangkan di madrasah pelajaran agama memiliki berbagai bidang ilmu, yaitu Akidah-Akhlak, Al-Qur'an-Hadits, Fiqh, Sejarah Kebudayaan Islam dan Bahasa Arab. Semuanya diajarkan dalam waktu antara 10 -12 jam seminggu.
Biasanya kalau menyebut sekolah plus atau sekolah unggulan, maka konotasinya adalah sekolah bermutu, dan oleh karena itu banyak memiliki keunggulan dan diminati masyarakat. Sebagai perbandingan saja misalnya sekolah Al- Balagh Laren Lamongan, sekolah Madania di Parung-Bogor, sekolah Muthahari di Bandung, dan sekolah Athirah di Makassar adalah sekolah yang dinilai sebagai sekolah bermutu, memiliki banyak keunggulan, dan diminati oleh masyarakat.[22]
Di antara keunggulan sekolah-sekolah tersebut adalah karena di dalam kurikulumnya ditambahkan pelajaran agama secara memadai. Komposisikurikulum yang demikian itu sesungguhnya adalah komposisi kurikulum yang selama ini diterapkan di madrasah.
Ketika menyebut madrasah yang tergambar justru sebaliknya. Madrasah pada umumnya merupakan lembaga pendidikan yang kurang bermutu dan kurang diminati masyarakat. Dalam beberapa tahun terakhir memang muncul madrasah-madrasah unggul. Keunggulannya bahkan tidak hanya bertaraf lokal, tetapi juga nasional, bahkan beberapa madrasah diakui keunggulannya bertaraf internasional. Sebut saja misalnya MI dan MTs Negeri di Malang, MI Pembangunan di Jakarta, MAN Insan Cendekia di Serpong, dan MAN Insan Cendekia di Gorontalo.[23]
Di tingkat Sultra MIN Kolaka masuk dalam kelompok ini. Bahkan yang disebut terakhir ini memiliki berbagai prestasi pada level nasional sehingga memiliki peminat yang luar biasa. Sebagai contoh peserta didik kelas satu pada tahun pelajaran baru ini mencapai 180 siswa atau 6 rombongan belajar disaat kompetitornya ”kesulitan” mencari peserta didik baru. Tetapi jumlah madrasah yang unggul tersebut sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah madrasah secara keseluruhan.
Kenyataan di atas menunjukkan bahwa untuk menjadi sekolah atau madrasah yang maju tidak cukup hanya mengandalkan kepada keunggulan kurikulum dalam arti kuantitatif, yaitu berupa sederetan jumlah mata pelajaran. Banyak faktor yang sangat berpengaruh, seperti manajemen, kualitas SDM, pendanaan, manajemen, dan sebagainya. Oleh karena itu sangat bisa dipahami kalau madrasah, betapapun dari sisi muatan kurikulum memiliki keunggulan dibandingkan dengan sekolah, belum bisa menjadi lembaga pendidikan yang maju karena masih menghadapi berbagai persoalan.
Setidaknya ada tiga alasan untuk menjelaskan bahwa madrasah adalah model pendidikan yang sesuai dengan masyarakat dan bangsa Indonesia. Pertama dalam rumusan ideologi Pancasila, sila pertama berbunyi "Ketuhanan Yang Maha Esa". Hubungan sila pertama dengan keempat sila yang lain tidak bersifat komplementer tetapi lebih bersifat pemaknaan dan inspiratif.
Sila pertama menjiwai bagi teraktualisasikannya sila-sila yang lain. Dalam istilah Prof. Tafsir sila pertama adalah core atau inti bagi sila kedua, ketiga, keempat, dan kelima. Sehingga kalau dijelaskan kira-kira akan menjadi Kemanusiaan yang adil dan beradab berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Persatuan Indonesia berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.[24]
Logika berikutnya, kalau sila Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan core bagi sila-sila berikutnya, maka sesungguhnya keimanan adalah sesuatu yang sangat esensial bagi kehidupan masyarakat dan berbangsa. Dengan demikian, maka penjabarannya dalam berbagai bidang kehidupan juga harus mengacu ke arah sana, termasuk di dalamnya dalam bidang pendidikan. Dalam bidang pendidikan seharusnya menjadikan iman sebagai core atau inti.
Implikasinya adalah bahwa struktur kurikulum dan aktivitas yang dikembangkan di dalam lembaga pendidikan seharusnya berorientasi kepada penanaman nilai-nilai keimanan dan memancarkan nilai-nilai tersebut dalam keseharian pendidikan. Namun demikian, dalam kenyataannya struktur kurikulum dan aktivitas pendidikan kurang banyak diwarnai oleh keimanan. Secara kuantitatif mata pelajaran yang mengajarkan kepada keimanan hanya 2 jam pelajaran dalam satu minggu dari jumlah jam secara keseluruhan yang jumlahnya kurang lebih 17 jam seminggu.
Sedangkan secara kualitatif kedalaman mated agama di sekolah juga belum ideal, karena lebih menekankan kepada pengetahuan agama daripada mendidik hidup beragama. Dalam konteks ini struktur kurikulum yang ada di madrasah secara kuantitatif tampaknya sejalan dengan pembinaan keimanan. Dalam struktur kurikulum madrasah berdasarkan 8KB Tiga Menteri Tahun 1975, komposisinya adalah 30% pelajaran agama dan 70% pelajaran umum. Ini artinya porsi untuk pendidikan keimanan jauh lebih mendukung dibandingkan dengan struktur kurikulum yang diterapkan di sekolah umum.

Selain itu, upaya menciptakan suasana keagamaan di madrasah juga tampaknya selalu diupayakan oleh para penyelenggara dan pendidik di hampir semua madrasah. Dengan demikian, dari struktur kurikulum, maka sesungguhnya madrasah sudah sangat sejalan dengan semangat Pancasila yang menjadikan keimanan (Ketuhanan Yang Maha Esa) sebagai corenya.
Kedua, di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dijelaskan, "Atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa, dan dengan didorong oleh semangat yang luhur, ......." Pernyataan tersebut mengindikasikan bahwa para pendiri bangsa ini memang sangat yakin bahwa dideklarasikannya Republik Indonesia sebagai suatu entitas bangsa adalah berkat rahmat Allah. Jadi, tidak semata-sama sebagai hasil perjuangan, tetapi lebih dari itu bahwa kemerdekaan itu adalah sesuatu yang memang sudah kehendak Allah.[25]Sebab itu, betapapun kerasnya perjuangan yang dilakukan, tetapi kalau Allah belum memberikan tidak menghendaki, maka bisa jadi kemerdekaan tersebut belum terwujud pada waktu itu. Kesadaran seperti ini, lagi-lagi menunjukkan bahwa watak sesungguhnya dari masyarakat bangsa ini adalah masyarakat yang menjunjung tinggi keimanan di atas segalanya. Iman adalah inti dan pangkal dari eksistensi bangsa dan negara ini. Oleh karena itu juga, sudah seharusnya bahwa keimanan merupakan inti bagi penyeleng-garaan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam arti yang seluas-luasnya, termasuk di dalam penyelenggaraan pendidikan. Pendidikan tidak hanya menjadi lembaga yang merefleksikan keimanan, tetapi juga menjadi lembaga yang memperkokoh keimanan. Nah, penyelenggaraan madrasah secara par excellent sangat mendukung bagi terwujudnya maksud ini. Madrasah menjadikan iman sebagai core dalam penyelenggaraan pendidikannya dan kemudian mengembangkan aspek-aspek lainnya, baik ilmu pengetahuan, life skill, maupun ketrampilan lainnya.
Ketiga, tujuan pendidikan nasional. Di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) juga dijelaskan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.[26] Tujuan pendidikan nasional baik yang terdapat dalam UU Sisdiknas 2003 sama-sama menempatkan keimanan sebagai tujuan utama, baru kemudian disusul dengan kualifikasi yang lain. Ini menunjukkan bahwa keimanan adalah hal yang penting dalam pendidikan. Jika dikaitkan dengan sila pertama Pancasila dan juga pernyataan di dalam Pembukaan UUD 1945, maka tujuan pendidikan adalah sesuatu yang memang seharusnya begitu adanya, yaitu menjadikan iman sebagai core-nya, baru kemudian dilengkapi dengan hal-hal lain. Lagi-lagi dalam konteks ini, maka sesungguhnya eksistensi madrasah yang memberikan penekanan pada pembelajaran keimanan sangat sesuai dengan apa yang diamanatkan oleh Pancasila, UUD 1945, dan juga tujuan pendidikan nasional.
   Dalam aspek sosio-historis, kemunculan madrasah bukanlah sesuatu yang asing dalam konteks kemunculan bangsa Indonesia dan juga dalam konteks dasar-dasar dan operasional penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kemunculan madrasah yang demikian itu tidak semata-mata karena ia dilahirkan oleh masyarakat Islam, tetapi juga karena juga mengemban misi untuk mempertahankan, memperkokoh, dan juga mengembangkan nilai-nilai yang melandasi lahirnya bangsa ini. Dengan demikian, maka sesungguhnya eksistensi madrasah adalah sesuatu yang paralel dengan kebangsaan itu sendiri. Oleh karena itu sesungguhnya sudah seharusnyalah bangsa berkewajiban mengembangkan madrasah. Apalagi dalam sejarahnya pendidikan model madrasah inilah yang lahir sebelum kemerdekaan. Hal ini berbeda dengan dengan pendidikan model sekolah yang merupakan impor dari pendidikan yang dibawa oleh Belanda. Ini berarti bahwa madrasah adalah model pendidikan yang merupakan milik bangsa ini. Jangan lagi membayangkan bahwa madrasah saat ini identik dengan keterbelakangan, sebab pengelolaan madrasah yang maju telah memiliki ikon-ikon kemajuan. Madrasah, di tingkat dasar (ibtidaiyah pun) selain mendalami agama melalaui pembinaan iman, taqwa, ibadah, dan akhlak juga telah memiliki laboratorium komputer, belajar Bahasa Inggris, memiliki fasilitas internet, serta pembelajaran berbasis IT serta kemampuan manajerial yang baik dari kepala madrasah. Sehingga jika saat ini sebagaian masyarakat menggandrungi sekolah karena label internasionalnya (SBI) maka madrasah dengan label agama dan ikon kemajuan seperti disebutkan di atas, sesungguhnya madrasah adalah SBI BS (Sekolah Bertaraf Internasional Berorientasi Surga) Nah, apalagi yang diragukan dengan madrasah.
Dalam pelaksanaannya, madrasah dan sekolah Islam unggulan perlu mendapat dukungan beberapa unsur pokok yang harus terpenuhi. Idealnya kata unggulan itu memiliki performansi yang sebanding lurus dengan amanah yang diembannya guna memenuhi harapan dan kepercayaan dari stakeholders, orangtua siswa, masyarakat dan pemerintah. Menurut Imron Arifin, unsur pendukung madrasah atau sekolah Islam berprestasi (unggul) itu setidaknya ada sembilan faktor, yaitu:
1. Faktor sarana dan prasarana. Meliputi (a) fasilitas sekolah yang lengkap dan memadahi, (b) sumber belajar yang memadahi dan (c) sarana penunjang belajar yang memadahi.
2. Faktor guru. Meliputi (a) tenaga guru mempunyai kualifikasi memadahi, (b) kesejahteraan guru terpenuhi, (c) rasio guru-murid ideal, (d) loyalitas dan komitmen tinggi, dan (e) motivasi dan semangat kerja guru tinggi.
3. Faktor murid. Meliputi (a) pembelajaran yang terdiferensiasi, (b) kegiatan intra dan ekstrakulikuler bervariasi, (c) motivasi dan semangat belajar tinggi, (d) pemberdayaan belajar bermakna.
4. Faktor tatanan organisasi dan mekanisme kerja. Meliputi (a) tatanan organisasi yang rasional dan relevan, (b) program organisasi yang rasional dan relevan, (c) mekanisme kerja yang jelas dan terorganisasi secara tepat.
5. Faktor kemitraan. Meliputi (a) kepercayaan dan harapan orangtua tinggi, (b) dukungan dan peran serta masyarakat tinggi, (c) dukungan dan bantuan pemerintah tinggi.
6. Faktor komitmen/sistem nilai. Meliputi (a) budaya lokal yang saling mendukung, (b) nilai-nilai agama yang memicu timbulnya dukungan positif.
7. Faktor motivasi, iklim kerja, dan semangat kerja. Meliputi (a) motivasi berprestasi pada semua komunitas sekolah, (b) suasana, iklim kerja dan iklim belajar sehat dan positif, dan (c) semangat kerja dan berprestasi tinggi.
8. Faktor keterlibatan Wakil Kepala sekolah dan guru-guru. Meliputi (a) keterwakilan kepala sekolah dalam pembuatan kebijakan dan pengimplementasiannya, (b) keterwakilan kepala sekolah dan guru-guru dalam menyusun kurikulum dan program-program sekolah, dan (c) keterlibatan wakil kepala sekolah dan guru-guru dalam perbaikan dan inovasi pembelajaran.
9. Faktor kepemimpinan kepala sekolah. Meliputi (a) piawai memanfaatkan nilai religio-kultural, (b) piawai mengkomunikasikan visi, inisiatif, dan kreativitas, (c) piawai menimbulkan motivasi dan membangkitkan semangat, (d) piawai memperbaiki pembelajaran yang terdiferensiasi, (e) piawai menjadi pelopor dan teladan, dan (f) paiwai mengelola administrasi sekolah. Selain dari pandangan di atas, penulis ingin menjelaskan dan barangkali menambahkan beberapa unsur pendukung utama yang harus dimiliki oleh madrasah dan sekolah Islam unggulan. Paling tidak, ada tiga hal yang perlu tersedia, yaitu (1) sumber daya manusia unggul, (2) sarana prasarana akademik yang representatif, dan (3) fasilitas penunjang internalisasi nilai keislaman.[27]
H.    Penutup
Madrasah adalah lembaga pendidikan berbasis agama Islam yang memiliki sejarah panjang seiring dengan sejarah negara Indonesia baik sebelum maupun sesudah merdeka. Madrasah telah memeberikan kontribusi yang luar biasa untuk ikut berpartisipasi dalam mecerdaskan kehidupan bangsa ketika rakyat Indonesia berada dalam penjajahan kolonial Belanda hingga sekarang. Seiring pertumbuhan zaman maka akan terjadi pertumbuhan dan perubahan kehidupan masyarakat sehingga akan muncul tuntutan-tuntutan hidup yang baru dari masyarakat pula. Untuk itulah madrasah sebagai salah satu lembaga pendidikan harus mampu dalam memenuhi tuntutan tersebut dan mampu menunjukkan eksistensinya sebagai pengontrol perubahan, bukan malah termakan oleh perubahan tersebut. Dengan demikian madrasah harus terus mengembangkan kelembagaannya dengan strategi dan manajemen yang secara efektif mampu mengasilkan out put pendidikan  yang berkualitas.
Kemudian madrasah juga harus memiliki visi dan misi baru, serta dilengkapi dengan fasilitas yang memadai, manajemen dan staf pengajar yang lebih terlatih sehingga dapat meningkatkan status madrasah sebagai sekolah model dan menjadi percontohan bagi standar pengembangan seluruh madrasah lain di Indonesia. Dengan segala keunggulan yang dimiliki madrasah, tidak sulit memahami populeritas madrasah dan sekolah elite Islam yang terus menanjak, karena muatan nilai-nilai akhlak, demokrasi, dan kepedulian sosial. Dengan rasa bangga dan simpati, kini madrasah bukan hanya merupakan ikon kebanggaan, melainkan juga merupakan salah satu wahana terpenting untuk menumbuhkan, mengembangkan, dan memelihara kebanggaan dalam diri generasi muda kaum Muslim.


[1] Kementrian Agama, Desain Pengembangan Madrasah, (Jakarta: Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam, 2005), hal. 1
[2] Undang-Undang Dasar 1945,  Pasal 31,  Ayat 1 dan 3
[3] Kementrian Agama, Desain Pengembangan Madrasah, (Jakarta: Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam, 2005), hal. 1-2.
[4] Maksum, Madrasah; Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hal. 149.
[5] Ibid., hal. 150-151
[6] Undang-Undang  No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 56 ayat 1 dan 3
[7] Undang-Undang  No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 17 ayat 2 dan  Pasal 18 ayat 3
[8] Adul Rachman Shaleh, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 124.
[9] Ibid., hal. 126
[10] Kementrian Agama, Desain Pengembangan Madrasah, (Jakarta: Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam, 2005), hal. 18
[11] Ibid., hal. 19
[12] Ibid., hal. 21-23
[13] Abdul Rachman Shaleh, Pendidikan Agama dan Keagamaan, (Jakarta: PT Gemawindu Pancaperkasa, 2000), hal. 127.
[14] Ibid., hal. 128-129
[15] Ibid., hal.129
[16] Ibid., hal.129
[17] Ibid., hal.130
[18] Mulyasa, Pedoman Manajemen Berbasis Madrasah, (Jakarta: Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam), hal. 13-14
[19] Ibid., hal.14
[20] Ibid., hal.17-18
[21]Zaskia, “Beberapa kelemahan mendasar madrasah”,  izaskia.wordpress.com/.../beberapa-kelemahan-mendasar-madrasah-1/ -  dalam Google.com 18 Januari 2011, 11.23 pm
[22]Pondok Pesantren Al-Balagah Bulutigo Laren Lamongan, “Kenapa harus madrasah” www.albalagh.co.cc/2010/11/mengapa-harus-madrasah.html -  dalam Google.com 18 Januari 2011, 12.20 am
[23] Pondok Pesantren Al-Balagah Bulutigo Laren Lamongan, “Kenapa harus madrasah” www.albalagh.co.cc/2010/11/mengapa-harus-madrasah.html -  dalam Google.com 18 Januari 2011, 12.20 am
[24] Ibid.
[25] Ibid.
[26] Ibid.
[27] Mujtahid, “Perencanaan Madrash dan Sekolah Islam Unggulan”, mujtahid-komunitaspendidikan.blogspot.com/.../perencanaan-madrasah-dan-sekolah-islam.html -  dalam Google.com. 18 Januari 2011, 11.45 pm

1 komentar:

  1. Lucky Club: Bet on Sports and Casino at Lucky Club
    Lucky Club is the sports betting and casino site luckyclub.live of Lucky Club. Our mission is to give the best experience, experience and entertainment you can with

    BalasHapus